Featured Article

Kamis, 11 Juni 2009

kumpulan puisi Chairil Anwar

AKU

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 1943



PENERIMAAN

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.

Maret 1943



DOA

kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

13 November 1943



SAJAK PUTIH

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah...






CINTAKU JAUH DI PULAU

Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.

1946



AKU BERADA KEMBALI

Aku berada kembali. Banyak yang asing:
air mengalir tukar warna,kapal kapal,
elang-elang
serta mega yang tersandar pada khatulistiwa lain;

rasa laut telah berubah dan kupunya wajah
juga disinari matari lain.

Hanya
Kelengangan tinggal tetap saja.
Lebih lengang aku di kelok-kelok jalan;
lebih lengang pula ketika berada antara
yang mengharap dan yang melepas.

Telinga kiri masih terpaling
ditarik gelisah yang sebentar-sebentar
seterang
guruh

1949



TJERITA BUAT DIEN TAMAELA

Beta Pattiradjawane
jang didjaga datu datu
Tjuma satu

Beta Pattiradjawane
kikisan laut
berdarah laut

beta pattiradjawane
ketika lahir dibawakan
datu dajung sampan

beta pattiradjawane pendjaga hutan pala
beta api dipantai,siapa mendekat
tiga kali menjebut beta punja nama

dalam sunyi malam ganggang menari
menurut beta punya tifa
pohon pala, badan perawan djadi
hidup sampai pagi tiba

mari menari !
mari beria !
mari berlupa !

awas ! djangan bikin bea marah
beta bikin pala mati, gadis kaku
beta kirim datu-datu !

beta ada dimalam, ada disiang
irama ganggang dan api membakar pulau .......

beta pattiradjawane
jang didjaga datu-datu
tjuma satu



DENGAN MIRAT

Kamar ini jadi sarang penghabisan
di malam yang hilang batas

Aku dan engkau hanya menjengkau
rakit hitam

'Kan terdamparkah
atau terserah
pada putaran hitam?

Matamu ungu membatu

Masih berdekapankah kami atau
mengikut juga bayangan itu

1946



NISAN

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridhaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu di atas debu
Dan duka maha tuan tak bertahta



HAMPA

kepada sri

Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. 5etan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.



SENJA DI PELABUHAN KECIL

buat: Sri Ajati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap

1946



YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS

kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin

aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

1949



DERAI DERAI CEMARA

cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

1949



RUMAHKU

Rumahku dari unggun-unggun sajak
Kaca jernih dari segala nampak

Kulari dari gedung lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan

Kemah kudirikan ketika senjakala
Dipagi terbang entah kemana

Rumahku dari unggun-unggun sajak
Disini aku berbini dan beranak

Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
jika menagih yang satu

April 1943



Lagu Biasa

Di teras rumah makan kami kini berhadapan
Baru berkenalan. Cuma berpandangan
Sungguhpun samudera jiwa sudah selam berselam
Masih saja berpandangan
………..
Ia mengerling. Ia ketawa
Dan rumput kering terus menyala
Ia berkata. Suaranya nyaring tinggi
Darahku terhenti berlari
Ketika orkes memulai Ave Maria
Kuseret ia ke sana…….



Mirat Muda, Chairil Muda

Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah,
Menatap lama ke dalam pandangnya
Coba memisah matanya menantang
Yang satu tajam dan jujur yang sebelah
Ketawa diadukannya giginya pada
Mulut Chairil; dan bertanya: Adakah, adakah
Kau selalu mesra dan aku bagimu indah?
Mirat raba urut Chairil, raba dada
Dan tahukah di kini, bisa katakan
Dan tunjukkan dengan pasti di mana
Menghidup jiwa, menghembus nyawa
Liang jiwa-jiwa saling berganti. Dia
Rapatkan
Dirinya pada Chairil makin sehati;
Hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas
Hiduplah Mirat dan Chairil dengan deras,
Menuntut tinggi tidak setapak berjarak
Dengan mati.



Buat Gadis Rasid

Antara
Daun-daun hijau
Padang lapang dan terang
Anak-anak kecil tidak bersalah, baru bisa lari-larian
Burung-burung merdu
Hujan segar dan menyembur
………………..

Kita terapit, cintaku
—-mengecil diri, kadang bisa mengisar setapak—-
Mari kita lepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpati
Terbang
Mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat
—-the only possible non-stop flight
tidak mendapat



PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO

Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh

1948



DIPONEGORO

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri
Menyediakan api.

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai



Maju
Serbu
Serang
Terjang


Agustus 1954



KRAWANG-BEKASI

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi


1957

Popular Posts

Anker's Members :

In Memoriam :