Featured Article

Senin, 28 Februari 2011

Memaknai Nama : Panggilan Adalah Do’a Yang Indah



“Hmmm… Saya suka nama Yusuf, deh bi…. Pasti ganteng dan sholeh ntar anak kita kayak nabi Yusuf alaihissalaam…”, usulku pada suami, saat mengetahui bahwa calon bayi yang akan kulahirkan nanti adalah laki-laki.
“Ogaaaaah… gak mau, mi…”, eh tiba-tiba suamiku langsung complain, “Dulu ada teman abi namanya Yusuf, tapi dipanggil Ocop atau Ucup… jangan deh mi, yang laen aja yah…”, sambungnya. Memang hati ini merasa tidak ridho dengan panggilan-panggilan yang sembarangan mengubah nama orang, apalagi jika maknanya kurang baik.
Begitu di saat kami berdiskusi sederhana tentang nama anak-anak. Sejujurnya kami punya bahasa favourite yang sama, yaitu bahasa Arab, walaupun hanya bisa pasif, otomatis nama anak-anak harus “arabic”, dan selama ini memang nama-nama indah yang merupakan sifat-sifat Sang Pencipta, nama para nabi, atau pun nama tokoh Islam sering menjadi pilihan untuk nama anak bagi para orang tua masa kini, termasuk kami. Tak lain hal itu adalah do’a dan harapan agar anak-anak dapat mengenal makna dirinya serta makin dekat dengan Robbnya.
Memilih nama yang baik adalah kebutuhan diri kita, selaku makhluk pribadi dan makhluk yang bersosialisasi. Nama-nama yang baik, yang insya Allah dimiliki seseorang berakhlaq mulia, tentunya mencerminkan kepercayaan diri dan komitment yang tinggi dalam adab-adab pergaulan, secara habluminallah dan habluminannaas.
Dalam Islam, anjuran memilih nama yang baik telah dicontohkan oleh baginda Rasulullah SAW, dalam suatu kisah para sahabat membawa anaknya yang baru lahir ke hadapan Rasulullah Shallallahu‘Alaihi Wasallam, beliau memberikan nama pada hari itu juga.
Kita lihat contoh dalam kisah kelahiran ‘Abdullah bin Az Zubair, ketika Rasulullah SAW mentahniknya “Kemudian beliau mengusapnya dan mendoakan kebaikan baginya, serta memberinya nama : ‘Abdullah.” (HR.Muslim), juga beliau bahkan pernah mengubah nama Al-'ashi (yang artinya pembangkang) menjadi Abdullah (Hamba Allah) saat orang tersebut masuk Islam.
Nama memiliki hikmah yang besar, Ibnul Qoyyim mengatakan bahwa nama harus "bermakna yang indah" sesuai petunjukNYA, Hendaklah pula seseorang menamai anaknya dengan kesesuaian karakter.
Bila anak lelaki, maknai namanya dengan karakter gagah, jantan, penuh keberanian, tekad, dan kemuliaan sebagai pemimpin ummat. Sedangkan bila anak wanita, pilihlah nama "keputrian" yang maknanya sikap 'iffah (menjaga diri), kesetiaan, ikhlas, dan penuh kesyukuran serta sabar.
Sayangnya, dengan pemahaman yang berbeda-beda serta latar belakang pun tak sama, kebanyakan orang menganggap sepele prihal nama ini. Teringat akan masa sekolah dulu, hampir semua teman sekolahku sejak di bangku sekolah dasar hingga masa kuliah, ada saja yang punya “label” atau nama panggilan istimewa yang digelari oleh teman-teman sendiri.
Dan kebanyakan nama-nama itu memiliki arti yang kurang baik, mungkin yang dipanggil memang tak menyadari akan hal itu, atau merasa bahwa sekedar candaan sehingga tak mempermasalahkannya.
Bahkan di salah satu kelas di sekolahku, ada kelas senior yang dijuluki “kebun binatang”, semua siswa-siswi di dalamnya punya panggilan masing-masing : kambing, onta, kucing, tikus, bebek, macan, ular, dsb sesuai dengan karakter atau julukan dari si teman-temannya, bahkan anak yang “jalannya pelan-pelan” dipanggil “siput”. Astaghfirrulloh…
Temanku yang lainnya bernama “omen”, mirip nama tikus kepunyaan Dono, itu lho yang merupakan tokoh dalam salah satu film komedi Indonesia. Ada pula yang dipanggil “item” karena kulitnya paling gelap di antara teman lain. Ada pula yang dipanggil “buntelan” karena tubuhnya yang gemuk, “cacing” gara-gara kurus, “kiting” gara-gara rambutnya keriting, “boxy” karena botak dan sexy, “sagu” gara-gara pakai bedak sering tebal, “o’on” gara-gara sering dimarahi guru kalau hasil ulangannya jelek, dsb. Yang miris sekali, nama “Arif” berubah jadi yipyip, nama Abdulloh dipanggil Bedol (yg dalam bahasa daerah artinya bolong), nama Ahmad dipanggil Mamat (artinya Mati), ada juga panggilannya “burn”, “gosong”, yang artinya bakar.
Mungkin karena saya adalah orang yang perasa dan sensitive terhadap makna kata, sehingga Saya tak pernah mengikuti gelar-gelar dan panggilan tersebut. Orang tuaku pun pernah mengingatkan, “Jangan mengejek orang lain kalau tak mau diejek…Jangan membalas hinaan kalau memang kita tak sama dengan si penghina, ingatlah…”. Oke, dalam hatiku. Sebab dulunya saya pernah juga bersedih gara-gara diusili teman dengan menghina nama bapakku yang diplesetkan dengan nama merk rokok.
Dan juga kebetulan saya dan kakak-kakak yang cewek semuanya kurus langsing, nah, dulu ada tetangga yang semuanya anak laki-laki. Si kakak tetangga itu adalah kawan sekelas kakakku, si kakak sulungnya juga kawan sekelas kakak sulungku, adiknya adalah kawan sekelasku. Mereka kakak-beradik secara turun temurun mengejek kami kakak-beradik, dengan panggilan “tengkorak hidup”, dan “tiang listrik”, gubraks! Kata mereka, kalau ada angin kencang, tubuh kami tinggal terbang saja, tulang semua.
Namun kami tidak mempedulikan ejekan itu, yah sadar diri juga bahwa saat itu memang toh badan kami kurus, namun yang penting sehat. Nyatanya saat sudah mens-periode sebagai tanda baligh bagi anak wanita, maka tubuh kami berubah, “mengembang” dengan teratur, Alhamdulillah, semua ada masanya. Dan kalau diselidiki lebih lanjut, ternyata “yang ngejek-ngejek” begitu, karenamereka naksir, euy…itu istilah anak muda yah.
Semoga teman-teman tersebut telah memperoleh hidayah Allah SWT dan menghargai makna nama-nama mereka dengan lebih baik. Dan buat generasi remaja sekarang, cobalah merajut kenangan yang lebih indah, jangan sampai menyakiti hati teman-teman atau saudara kita sendiri dengan panggilan yang buruk, ada kalanya panggilan tersebut malah sangat tidak pantas disebut, bahkan panggilan dengan sebutan “setan atau iblis”, naudzubillahi minzaliik.
Alhamdulillah, melalui masa-masa remaja, saya tetap memanggil nama teman-teman dengan “nama asli” mereka, walaupun mungkin mereka sendiri bingung dan merasa lucu atau asing dengan nama itu. Contoh saat si “Omen” Saya panggil Ahmad (sesuai namanya), dia malah tak menoleh.
Namun selanjutnya dia jadi ingat bahwa yang memanggil Ahmad berarti saya, dan karena itulah dia jadi ingat pasti di hari itu mau tukar-pinjam koleksi novel detektif denganku. Ada yang namanya Zahid, tetaplah kupanggil Zahid, bukan jait (jahit) seperti cara teman lain memanggilnya. Juga ada yang namanya Ria (tentulah dimaksudkan bermakna gembira), banyak yang “terpeleset” memanggilnya Riya’, astaghfirrulloh…
Bu Fafa, tetangga kami dulu sempat bingung, saat teman-teman anaknya memanggil yipyiiiip dari depan pintu. Oalah, ternyata ibunya tidak tau kalau nama anaknya “diganti orang sembarangan”, yah…
Kalian yang sudah jadi ibu, tentu kesal kalau nama anak yang sudah bagus-bagus maknanya, eh, dipanggil aneh-aneh oleh orang lain. Mungkin saat itu, begitulah perasaan bu Fafa, lantas dia mengulang dengan sabar dan suaranya lembut sekali, “Arif…Arif, ada temanmu, nak…”, panggilan itu khan do’a, apalagi kekuatan do’a ibunda sholihah, insya Allah kelak si Arif benar-benar menjadi sosok yang arif.
Agar kenangan kita indah di bumi Allah SWT ini, sebaiknya kita saling memanggil dengan nama yang baik. Penggunaan nick-name tentu boleh, namun tetap dilihat maknanya, jangan menggunakan nama yang bermakna buruk.
Panggilan-panggilan dengan penuh kasih sayang di antara suami-istri, saudara, sahabat, tentu akan mempererat ukhuwah serta menambah kemesraan, Rasulullah SAW dan para sahabat pun mencontohkan hal itu, ayah ibuku juga memiliki panggilan special di antara keduanya, hati ini ikut senang mendengar saat mereka saling memanggil.
Ciri kekurangan fisik seseorang jangan sampai diumbar melalui nama, belum tentu teman kita tidak sakit hatinya walaupun dia tak menampakkan kemarahan. Masih lebih baik menggunakan julukan ciri asal daerah, seperti "Al-Jawi, Al-Bantani, Al-Palembani, Al-Indonesia, dll".
Janganlah sungkan bertanya pada teman kita, “Panggilan yang kamu sukai, pakai nama apa…?”, atau, “Kamu senang tidak kalau Saya panggil dengan namamu yang ujungnya begini…?”, dsb. Jangan pula kita malu untuk menanyakan makna dari suatu nama yang mungkin kita punya ide-ide unik untuk nama anak, tapi malah arti atau maknanya kurang baik.
Kadang-kadang memang perbedaan bahasa pula yang menyebabkan arti berbeda, misalnya ada orang yang tidak tau bahwa “stone” artinya batu. Nama anaknya “stone”, sifatnya keras kepala seperti batu karena dipanggil “batu” tiap saat. Adapun arti “Nada” yang berhubungan dengan musik dalam bahasa Indonesia, namun jika jalan-jalan ke Spanyol, mungkin akan ada yang menertawakan anak anda, sebab “Nada” is Nothing,dalam bahasa Spanyol sering diartikan bodoh.
Juga nama “Rocky” atau Kroky yang biasanya keren,namun di Poland, Roky, Kroky atau krok artinya step atau move, dimaknai terlalu aktif, seperti suara kodok, melompat-lompat terus tak henti-henti. Berhati-hati pula memberi nama, jangan dengan nama-nama berhala atau serupa dengan nama para pembesar yang kafir.
Artinya kita sebagai orang tua memang harus lebih banyak lagi menggali informasi tentang makna-makna nama ini, ingin sekali di suatu hari anak-anak merasa percaya diri dan selalu optimis saat memahami dengan baik akan makna di balik nama-nama mereka, ataupun di balik panggilan singkat mereka.

Secuil kata berupa nama, Muhammad, junjungan dan idola kita, Rasulullah SAW, manusia yang paling terpuji, ternyata paling banyak nama serupa ini, bahkan stasiun televisi dunia pernah mengupas habis makna nama junjungan kita tersebut. Subhanalloh… Ayat-Nya, “Dan tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya’:107).
Duhai Azzam, jadilah engkau anak yang bertekad kokoh dan teguh dalam mempelajari ilmu-ilmuNYA, nak… begitulah salah satu harapan kami saat “menemukan” nama yang indah buat si sulung.
Ternyata di usia ke lima tahun, dia menyiapkan nama “Ibrahim” untuk urun saran nama adiknya, semoga mereka kelak benar-benar memahami jati diri sebagai hamba-Nya sebagaimana sosok para nabi yang “namanya” melekat pada diri mereka. Amiin ya Robb.
Semoga Allah SWT meridhoi dan selalu memberikan bimbinganNYA atas usaha-usaha kita dalam mendidik anak, termasuk saat mengawali do’a “pemberian nama” mereka ini. Wallahu ‘alam bisshowab.

(bidadari_Azzam, salam ukhuwah dari Krakow, 26 febr.2011)
 

Kecerdasan Berbagi


Oleh Abi Sabila
Sepi. Agen bus antar kota antar propinsi ini masih terlihat sepi. Hanya ada lima orang di ruang tunggu, itupun bukan semuanya calon penumpang, kuyakin dua diantaranya hanya sekedar mengantar. Setelah mengkonfirmasi tiket yang kubeli pagi tadi di loket penjualan, aku bergabung dengan mereka. Sengaja kupilih bangku panjang di barisan paling belakang.
Waktu lima belas menit sebelum jadwal keberangkatan masih cukup untuk aku beristirahat. Malah bisa lebih lama karena biasanya bus selalu datang terlambat, mudah-mudahan kali ini tidak.
Tak sampai lima menit sejak kedatanganku, datanglah seorang calon penumpang lainnya. Seorang laki-laki muda yang tak kukenal. Setelah tersenyum padaku, laki-laki itu duduk tepat di depanku. Tak banyak bicara, sekedar basa-basi kota mana yang ia tuju, setelah itu saling diam.
Aku mengambil handphone dari tas kecilku, kukabarkan pada ibu bahwa aku sudah sampai di agen bus dan tentu saja masih harus menunggu. Juga kukirimkan satu sms untuk keponakanku di Tangerang, bahwa aku jadi pulang sore ini dan minta ia menjemput di agen bus besok pagi.
Saat asyik mengetik sms, aku tak menyadari kalau seorang calon penumpang datang lagi dan berjalan ke arahku.
“Assalamu’alaikum”
“Waalikum salam” jawabku agak terkejut, ternyata aku mengenal calon penumpang yang baru datang. Pak Agus, sebut saja begitu. Beliau tetangga satu kampung denganku.
Obrolan hangatpun segera terjadi. Cukup lama kami tak saling bertemu, mungkin lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Seingatku, sejak aku lulus sekolah dan menyusul kakakku di Tangerang, baru kali ini bertemu lagi. Banyak hal yang kami bicarakan, mulai dari saling bertanya keluarga hingga pekerjaan masing-masing.
Waktu terasa berjalan lebih cepat. Keramahan dan keterbukaan Pak Agus mejadikan obrolan kami semakin hangat dan bersahabat.
Banyak hal bermanfaat yang kudapatkan sore itu. Salah satunya ketika aku bertanya siapa yang mengantarnya sore itu, aku tak melihat ada orang lain bersamanya.
Seluruh warga di kampungku tahu, bahwa Pak Agus berasal dari keluarga berada. Tapi tidak semuanya tahu ( salah satunya aku ) bahwa setiap pulang kampung, untuk kemana-mana Pak Agus lebih senang menyewa becak ketimbang naik mobil atau motor yang berjejer di garasinya. Termasuk sore ini, Pak Agus datang ke agen bus diantar Kang Ndoyo, tukang becak yang biasa mangkal di perempatan dekat balai desa. Aku memang tak melihat Kang Ndoyo lagi sebab setelah mengantarkan Pak Agus, dia langsung ke stasiun mencoba menjemput rejeki melalui para penumpang kereta yang baru tiba dari berbagai kota.
“Memangnya semua sedang sibuk, sehingga tidak ada yang sempat mengantar ke sini Pak?” tanyaku sekedar ingin tahu.
“Tidak juga, semua keluarga sedang kumpul di rumah. Tadi adik ipar juga maksa ingin mengantar dengan mobil, tapi saya tolak. Saat pulang kampung seperti sekarang ini, saya lebih senang kemana-mana naik becak”
“Bisa bernostalgia ya Pak. Di Jakarta kan sekarang becak sudah tidak boleh beroperasi lagi?” potongku, sok tahu.
“Itu salah satunya. Selain itu, kalau tidak begitu, saya tidak tahu cara lain untuk berbagi dengan saudara-saudara kita di sini”
“Maksudnya?” aku belum paham apa yang beliau maksudkan.
“Maksud saya begini, Mas. Setiap pulang kampung, sedikit apapun saya usahakan untuk bisa berbagi dengan saudara dan kawan lama yang sebagian besar tetap tinggal di kampung. Ada yang jadi petani, ada juga yang jadi tukang becak, seperti Kang Ndoyo. Saya tidak meremehkan penghasilan mereka, tapi kita bisa melihat kehidupan mereka yang masih sederhana, sangat sederhana malah. Tidak salah kan kalau kita berbagi sedikit rejeki dengan mereka. Hanya saja, kalau tiba-tiba saya datang dan memberikan sejumlah uang atau barang, sedangkan mereka tidak melakukan apa-apa, kok rasanya kurang sreg di hati.”
“Yang saya takutkan, bukannya mereka senang, tapi justru membuat mereka tersinggung atau berfikir yang macam-macam, nanti malah bisa menimbulkan fitnah. Akhirnya saya pikir dengan menyewa becak atau minta tolong ini dan itu, saya bisa tetap berbagi, dan mereka tidak perlu merasa direndahkan karena mereka sudah bekerja, mengeluarkan tenaga. Tidak selalu banyak, sekedar lebih dari upah yang biasa mereka terima, itu sudah cukup membuat mereka bahagia. Bukankah memberikan kail lebih baik daripada langsung memberi ikannya?” panjang lebar Pak Agus menjelaskan.
Benar sekali apa yang beliau sampaikan, dan ini hampir tak terpikirkan olehku. Kalaupun sore itu aku datang ke agen bus juga dengan menyewa becak, itu lantaran tak ada yang bisa mengantar. Menjelang ujian, keponakanku yang biasanya mengantar semakin sering mengikuti pelajaran tambahan. Juga tadi pagi, saat aku membeli tiket, aku malah lebih memilih pinjam motor kakakku ketimbang menyewa becak, seperti yang Pak Agus lakukan.
Astaghfirulloh, ternyata banyak sekali kesempatan berbuat baik yang aku lewatkan saat pulang kampung seperti ini. Bahkan, meski aku dan Pak Agus sama-sama datang ke agen bus ini dengan naik becak, niat dan kesadaran kami tidaklah sama. Pak Agus begitu pandai melihat peluang untuk berbagi dengan sesama. Pak Agus begitu cerdas memanfaatkan kesempatan ini hingga orang lain yang ia tolong barangkali tak menyadari bahwa Pak Agus sengaja menyewa becak mereka bukan karena ingin bernostalgia, tapi karena ingin berbagi rejeki tanpa membuat orang lain tersinggung apalagi sakit hati.
Alhamdulillah, aku bersyukur sekali bertemu dengan beliau sore itu. Perbincangan yang hangat sekaligus bermanfaat. Sayang, kami tak bisa berbincang lebih lama lagi karena bus AC eksekutif yang ditunggu Pak Agus sudah lebih dulu datang.
“Bus saya sudah datang, saya pamit dulu, Mas. Maaf ya kalau ada perbincangan yang kurang berkenan. Njenengan hati-hati di jalan, semoga kapan-kapan bisa bertemu lagi, insya Allah. Assalamu’alaikum” sopan beliau berpamitan.
“Waalaikum salam, Bapak juga hati-hati. Terima kasih, saya banyak mengambil pelajaran dari perbincangan singkat ini. Sampaikan salam saya untuk keluarga” agak gemetar tanganku saat bersalaman dengannya.
Dua menit berikutnya, bus AC eksekutif jurusan jakarta itupun bergerak perlahan. Dibalik jendela, kulihat Pak Agus tersenyum, melambaikan tangan ke arahku. Kubalas dengan hal yang sama.
Cara berbagi yang cerdas, aku mengakui itu. Ini bukan omong kosong. Apa yang beliau katakan benar, dan beliau telah membuktikannya. Beliau juga telah membagi tipsnya padaku, bagaimana berbagi dengan cara yang cerdas, cara yang tak membuat orang malas, tersinggung apalagi sakit hati.

Bandar Narkotika Akali Jammer di Penjara



Jakarta
 - Layanan seluler diyakini memiliki peran penting dalam pengelolaan bisnis narkotika dari balik jeruji penjara. Meski penjara sudah dilengkapi denganjammer, tetap saja ada tahanan yang mengakali alat pengacak sinyal tersebut.

Jammer adalah sebuah alat yang berfungsi untuk mengacak, mengacaukan, mematikan, meniadakan sinyal seluler dalam area tertentu sehingga ponsel tidak bisa melakukan komunikasi baik suara maupun data.

Menurut Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Gories Mere, para pelaku kejahatan terus mengikuti perkembangan teknologi guna dapat dioptimalkan agar dapat menunjang bisnis mereka.

Hal ini ternyata termasuk bagi para gembong narkotika yang seharusnya tak berdaya lantaran telah dijebloskan ke dalam bui. Sebab pada kenyataannya, masih ada saja tahanan yang mengelola bisnis mereka dari balik tembok tebal penjara.

Caranya, tinggal berkoordinasi dengan kaki tangannya di luar dengan memanfaatkan telepon seluler yang diselundupkan. Lalu bukankah ada juga penjara yang dilengkapi dengan jammer?

Sayangnya, hal ini juga percuma untuk sebagian kasus. Sebab, menurut Gories, para pelaku juga sudah menyadari hal ini dan dengan alat tertentu telah berhasil mengakalinya, sehingga bebas berkomunikasi dengan dunia luar.

"Mereka sudah menggunakan alat-alat canggih untuk mengakali jammer. Jadi mereka bisa mengelola bisnisnya dari balik penjara," tukas Gories di sela penandatanganan nota kesepahaman antara Kementerian Kominfo dengan BNN di Jakarta, Senin (28/2/2011).

Peredaran gelap narkotika di Indonesia sendiri saat ini semakin mengkhawatirkan. Pada saat peringatan Hari Anti Narkotika Internasional tahun 2010 beberapa bulan yang lalu menunjukkan bahwa pecandu narkoba di Indonesia diperkirakan mencapai 3,3 juta jiwa atau sekitar 1,99% dari jumlah penduduk. Dimana pecandu potensial berkisar pada usia 13 hingga 49 tahun. 

"Apalagi belum terhitung dengan jaringan mafia peredaran perdagangan narkotika yang kini telah menempatkan Indonesia menjadi salah satu target utama wilayah operasional peredarannya," pungkas Gories.

Minggu, 27 Februari 2011

Tiga Bulan Tidak Mampu Memandang Wajah Suami




Perkawinan itu telah berjalan empat tahun, namun pasangan suami istri itu belum dikaruniai seorang anak. Dan mulailah kanan kiri berbisik-bisik: "kok belum punya anak juga ya, masalahnya di siapa ya? Suaminya atau istrinya ya?". Dari berbisik-bisik, akhirnya menjadi berisik.
Tanpa sepengetahuan siapa pun, suami istri itu pergi ke salah seorang dokter untuk konsultasi, dan melakukan pemeriksaaan. Hasil lab mengatakan bahwa sang istri adalah seorang wanita yang mandul, sementara sang suami tidak ada masalah apa pun dan tidak ada harapan bagi sang istri untuk sembuh dalam arti tidak peluang baginya untuk hamil dan mempunyai anak.Melihat hasil seperti itu, sang suami mengucapkan: inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, lalu menyambungnya
dengan ucapan: Alhamdulillah.
Sang suami seorang diri memasuki ruang dokter dengan membawa hasil lab dan sama sekali tidak memberitahu istrinya dan membiarkan sang istri menunggu di ruang tunggu perempuan yang terpisah dari kaum laki-laki.Sang suami berkata kepada sang dokter: "Saya akan panggil istri saya untuk masuk ruangan, akan tetapi, tolong, nanti anda jelaskan kepada istri saya bahwa masalahnya ada di saya, sementara dia tidak ada masalah apa-apa.Kontan saja sang dokter menolak dan terheran-heran.
Akan tetapi sang suami terus memaksa sang dokter, akhirnya sang dokter setuju untuk mengatakan kepada sang istri bahwa masalah tidak datangnya keturunan ada pada sang suami dan bukan ada pada sang istri.Sang suami memanggil sang istri yang telah lama menunggunya, dan tampak pada wajahnya kesedihan dan kemuraman. Lalu bersama sang istri ia memasuki ruang dokter. Maka sang dokter membuka amplop hasil lab, lalu membaca dan mentelaahnya, dan kemudian ia berkata: "… Oooh, kamu –wahai fulan- yang mandul, sementara istrimu tidak ada masalah, dan tidak ada harapan bagimu untuk sembuh.Mendengar pengumuman sang dokter, sang suami berkata: inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, dan terlihat pada raut wajahnya wajah seseorang yang menyerah kepada qadha dan qadar Allah SWT.
Lalu pasangan suami istri itu pulang ke rumahnya, dan secara perlahan namun pasti, tersebarlah berita tentang rahasia tersebut ke para tetangga, kerabat dan sanak saudara.Lima (5) tahun berlalu dari peristiwa tersebut dan sepasang suami istri bersabar, sampai akhirnya datanglah detik-detik yang sangat menegangkan, di mana sang istri berkata kepada suaminya: "Wahai fulan, saya telah bersabar selama Sembilan (9) tahun, saya tahan-tahan untuk bersabar dan tidak meminta cerai darimu, dan selama ini semua orang berkata:" betapa baik dan shalihah-nya sang istri itu yang terus setia mendampingi suaminya selama Sembilan tahun, padahal dia tahu kalau dari suaminya, ia tidak akan memperoleh keturunan".
Namun, sekarang rasanya saya sudah tidak bisa bersabar lagi, saya ingin agar engkau segera menceraikan saya, agar saya bisa menikah dengan lelaki lain dan mempunyai keturunan darinya, sehingga saya bisa melihat anak-anakku, menimangnya dan mengasuhnya.Mendengar emosi sang istri yang memuncak, sang suami berkata: "istriku, ini cobaan dari Allah SWT, kita mesti bersabar, kita mesti …, mesti … dan mesti …". Singkatnya, bagi sang istri, suaminya malah berceramah dihadapannya.Akhirnya sang istri berkata: "OK, saya akan tahan kesabaranku satu tahun lagi, ingat, hanya satu tahun, tidak lebih".Sang suami setuju, dan dalam dirinya, dipenuhi harapan besar, semoga Allah SWT memberi jalan keluar yang terbaik bagi keduanya.
Beberapa hari kemudian, tiba-tiba sang istri jatuh sakit, dan hasil lab mengatakan bahwa sang istri mengalami gagal ginjal.Mendengar keterangan tersebut, jatuhnya psikologis sang istri, dan mulailah memuncak emosinya. Ia berkata kepada suaminya: "Semua ini gara-gara kamu, selama ini aku menahan kesabaranku, dan jadilah sekarang aku seperti ini, kenapa selama ini kamu tidak segera menceraikan saya, saya kan ingin punya anak, saya ingin memomong dan menimang bayi, saya kan … saya kan …".Sang istri pun bed rest di rumah sakit.
Di saat yang genting itu, tiba-tiba suaminya berkata: "Maaf, saya ada tugas
keluar negeri, dan saya berharap semoga engkau baik-baik saja"."Haah, pergi?". Kata sang istri."Ya, saya akan pergi karena tugas dan sekalian mencari donatur ginjal, semoga dapat". Kata sang suami.Sehari sebelum operasi, datanglah sang donatur ke tempat pembaringan sang istri.
Maka disepakatilah bahwa besok akan dilakukan operasi pemasangan ginjal dari sang donatur.Saat itu sang istri teringat suaminya yang pergi, ia berkata dalam dirinya: "Suami apa an dia itu, istrinya operasi, eh dia malah pergi meninggalkan diriku terkapar dalam ruang bedah operasi".Operasi berhasil dengan sangat baik. Setelah satu pekan, suaminya datang, dan tampaklah pada wajahnya tanda-tanda orang yang kelelahan.Ketahuilah bahwa sang donatur itu tidak ada lain orang melainkan sang suami itu sendiri. Ya, suaminya telah menghibahkan satu ginjalnya untuk istrinya, tanpa sepengetahuan sang istri, tetangga dan siapa pun selain dokter yang dipesannya agar menutup rapat rahasia tersebut.
Dan subhanallah …Setelah Sembilan (9) bulan dari operasi itu, sang istri
melahirkan anak. Maka bergembiralah suami istri tersebut, keluarga besar dan para tetangga.Suasana rumah tangga kembali normal, dan sang suami telah menyelesaikan studi S2 dan S3-nya di sebuah fakultas syari'ah dan telah bekerja sebagai seorang panitera di sebuah pengadilan di Jeddah. Ia pun telah menyelesaikan hafalan Al-Qur'an dan mendapatkan sanad dengan riwayat Hafs, dari `Ashim.Pada suatu hari, sang suami ada tugas dinas jauh, dan ia lupa menyimpan buku hariannya dari atas meja, buku harian yang selama ini ia sembunyikan.
Dan tanpa sengaja, sang istri mendapatkan buku harian tersebut, membuka-bukanya dan membacanya.Hamper saja ia terjatuh pingsan saat menemukan rahasia tentang diri dan rumah tangganya. Ia menangis meraung-raung. Setelah agak reda, ia menelpon suaminya, dan menangis sejadi-jadinya, ia berkali-kali mengulang permohonan maaf dari suaminya. Sang suami hanya dapat membalas suara telpon istrinya dengan menangis pula.
Dan setelah peristiwa tersebut, selama tiga bulanan, sang istri tidak berani
menatap wajah suaminya. Jika ada keperluan, ia berbicara dengan menundukkan mukanya, tidak ada kekuatan untuk memandangnya sama sekali.
(Diterjemahkan dari kisah yang dituturkan oleh teman tokoh cerita ini, yang kemudian ia tulis dalam email dan disebarkan kepada kawan-kawannya)
www.madisaminded.blogspot.com

Popular Posts

Anker's Members :

In Memoriam :