Senin, 16 Mei 2011

Catatan perjalanan Dahlan Iskan, Dirut PLN

Baru sekali ini saya ke Iran. Kalau saja PLN tak kesulitan dapat gas dalam
negeri, barangkali takkan ada pikiran untuk melihat kemungkinan mengimpor
gas dari Negara Para Mullah ini.

Sudah setahun lebih PLN berjuang untuk dapat gas dari negeri sendiri. Tapi,
hasilnya malah sebaliknya. Jatah gas PLN justru diturunkan terus. Kalau awal
2010 PLN masih dapat jatah gas 1.100 MMSCFD (million metric standard cubic
feet per day atau juta standar metrik kaki kubik per hari), saat tulisan ini
dibuat justru tinggal 900 MMSCFD. Perjuangan untuk dapat tambahan gas yang
semula menunjukkan tanda-tanda berhasil belakangan redup kembali.

Gas memang sulit diraba sehingga tak bisa terlihat ke mana larinya. Bisa
jadi gas itu akan berbelok-belok dulu entah ke mana, baru dari sana dijual
ke PLN dengan harga yang sudah berbeda. Padahal, PLN perlu 1,5 juta MMSCFD
gas.

Kalau saja PLN bisa dapat gas sebanyak itu, penghematannya bisa mencapai
Rp15 triliun tiap tahun. Angka penghematan yang mestinya menggiurkan
siapapun.

Maka, saya memutuskan ke Iran. Apalagi, upaya mengatasi krisis listrik sudah
berhasil dan menuntaskan daftar tunggu yang panjang itu pasti bisa selesai
bulan depan. Kini waktunya perjuangan dapat gas ditingkatkan.

Termasuk, apa boleh buat, ke negara yang sudah sejak 1980-an diisolasi AS
dan sekutu-sekutunya itu. Siapa tahu ada harapan untuk menyelesaikan
persoalan pokok PLN sekarang ini: efisiensi.

Sumber pemborosan terbesar PLN adalah banyaknya pembangkit listrik yang
'salah makan'. Sekitar 5.000 MW pembangkit yang seharusnya diberi makan gas
sudah puluhan tahun diberi makan minyak solar yang amat mahal. Salah makan
itulah yang membuat kembung perut PLN selama ini.

Kebetulan Iran memang sedang memasarkan gas dalam bentuk cair (LNG). Iran
sedang membangun proyek LNG besar-besaran di kota Asaleuyah di pantai Teluk
Parsi.

Saya ingin tahu benarkah proyek itu bisa jadi? Bukankah Iran sudah 30 tahun
lebih dimusuhi dan diisolasi secara ekonomi oleh AS dan sekutu-sekutunya
dari seluruh dunia?

Bukankah begitu banyak yang meragukan Iran bisa dapat teknologi tinggi untuk
membangun proyek LNG besar-besaran?

Saya pun terbang ke Asaleuyah, dua jam penerbangan dari Teheran. Meski
Asaleuyah kota kecil, ternyata banyak sekali penerbangan ke kota yang hanya
dipisahkan oleh laut 600 Km dari Qatar itu.

Bandaranya kecil, tapi cukup baik. Masih baru dan statusnya internasional.
Pesawat-pesawat lokal, seperti Aseman Air, terbang ke sana. Itulah kota yang
memang baru saja berkembang dengan pesatnya.

Iran memang menjadikan kota Asaleuyah sebagai pusat industri minyak, gas,
dan petrokimia. Beratus-ratus hektare tanah di sepanjang pantai itu kini
dipenuhi rangkaian pipa-pipa kilang minyak, kilang petrokimia, dan instalasi
pembuatan LNG.

Saya heran bagaimana Iran bisa dapat semua teknologi itu saat Iran diisolasi
dunia Barat. Memang terasa jalannya proyek tak bisa cepat, tapi sebagian
besar sudah jadi.

Kilang minyaknya, kilang petrokimianya, kilang etanolnya sudah beroperasi
dalam skala raksasa. Hanya kilang LNG-nya yang masih dalam pembangunan dan
kelihatannya akan selesai dua tahun lagi.

Memang, kalau saja Iran tak diembargo, proyek-proyek itu pasti bisa lebih
cepat. Namun, Iran tak menyerah. Iran membuat sendiri banyak teknologi yang
dibutuhkan di situ.

Hanya bagian-bagian tertentu yang masih didatangkan dari luar. Entah dengan
cara apa dan entah lewat mana. Yang jelas, barang-barang itu bisa ada.
Orang, kalau kepepet, biasanya memang banyak akal. Asal tak mudah menyerah.
Demikian juga Iran.

Bahkan, untuk memenuhi keperluan listrik untuk industri petrokimia itu, Iran
akhirnya bisa membuat pembangkit sendiri. Termasuk bisa membuat bagian yang
paling sulit di pembangkit listrik: turbin. Maka, Iran kini sudah berhasil
menguasai teknologi pembangkit listrik tenaga gas, baik open cycle maupun
combine cycle.

Kemampuan membuat pembangkit listrik itu pun semula agak saya ragukan. Belum
pernah terdengar ada negara Islam yang mampu membuat pembangkit listrik
secara utuh.

Karena itu, setelah meninjau proyek LNG, saya minta diantar ke pabrik turbin
itu. Saya ingin lihat sendiri bagaimana Iran dipaksa keadaan untuk mengatasi
sendiri kesulitan teknologinya.

Ternyata benar. Pabrik turbin itu sangat besar. Bukan hanya bisa merangkai,
tapi juga membuat keseluruhannya. Bahkan, sudah mampu membuat blade-blade
turbin sendiri.

Termasuk mampu menguasai teknologi coating blade yang bisa meningkatkan
efisiensi turbin. Baru sepuluh tahun Iran menekuni alih teknologi pembangkit
listrik itu.

Sekarang Iran sudah memproduksi 225 unit turbin dari berbagai ukuran. Mulai
25 MW hingga 167 MW. Bahkan, Iran sudah mulai mengekspor turbin ke Lebanon,
Syria, dan Irak.

Bulan depan sudah pula mengekspor suku cadang turbin ke India. Bulan lalu
pabrik turbin Iran merayakan produksi blade-nya yang ke-80.000 unit!

Kesimpulan saya: inilah negara Islam pertama yang mampu membuat turbin dan
keseluruhan pembangkit listriknya. Saya dan rombongan PLN diberi kesempatan
meninjau semua proses produksinya.

Mulai A hingga Z. Termasuk memasuki laboratorium metalurginya. Dengan
kemampuannya itu, untuk urusan listrik, Iran bisa mandiri. Bahkan, untuk
pemeliharaan pembangkit-pembangkit listrik yang lama, Iran tak bergantung
lagi ke pabrik asalnya. Mesin-mesin Siemens lama dari Jerman atau GE dari AS
bisa dirawat sendiri.

Iran sudah bisa memproduksi suku cadang untuk semua mesin pembangkit Siemens
dan GE. Bahkan, mereka sudah dipercaya Siemens untuk memasok ke negara lain.

''Anak perusahaan kami sanggup memelihara pembangkit-pembangkit listrik PLN
dengan suku cadang dari sini,'' kata manajer di situ.

Pabrik ini memiliki 32 anak perusahaan, masing-masing mengurus bidang yang
berbeda di sektor listrik. Termasuk ada anak perusahaan yang khusus bergerak
di bidang pemeliharaan dan operasi pembangkitan.

Bisnis kelihatannya tetap bisnis. Saya tak habis pikir bagaimana Iran tetap
bisa dapat alat-alat produksi turbin berupa mesin-mesin dasar kelas satu
buatan Eropa: Italia, Jerman, Swiss, dan seterusnya. Saya juga tak habis
pikir bagaimana pabrik pembuatan turbin itu bisa dapat lisensi Siemens.

Rupanya, meski membenci AS dan sekutunya, Iran tak sampai membenci
produk-produknya. Iran membenci AS hanya karena AS membantu Israel. Itu jauh
dari bayangan saya sebelum datang ke Iran. Saya pikir Iran membenci apapun
yang datang dari AS.

Ternyata tidak. Bahkan, Coca-Cola dijual secara luas di Iran. Demikian juga,
Pepsi dan Miranda. Belum lagi Gucci, Prada, dan seterusnya.

Intinya: dengan diembargo AS dan sekutunya, Iran hanya kesulitan pada
tahun-tahun pertama. Kesulitan itu membuat Iran kepepet, bangkit, dan
mandiri.

Kesulitan itu tak sampai membuatnya miskin, apalagi bangkrut. Justru Iran
dipaksa menguasai beberapa teknologi yang semula jadi ketergantungannya.

Banyaknya proyek yang sedang dikerjakan sekarang menunjukkan, pembangunan
ekonomi Iran terus berjalan. Mulai pengembangan bandara di mana-mana,
pembangunan jalan layang, hingga ke industri dasar. Tak ketinggalan pula
industri mobil.

Kegiatan ekonomi di Iran memang tak gegap gempita seperti Cina, tapi tetap
terasa menggeliat. Pertumbuhan ekonominya sudah bisa direncanakan enam
persen tahun ini. Mulai meningkat drastis jika dibanding tahun-tahun pertama
sanksi ekonomi diberlakukan.

''Sebelum ada sanksi ekonomi, Iran hanya mampu memproduksi 300 ribu mobil
setahun. Kini Iran memproduksi 1,5 juta mobil setahun,'' ujar seorang CEO
perusahaan terkemuka di Iran.


Di Antara Sepuluh Wanita, Sebelas Yang Cantik

Kami mendarat di Bandara Internasional Imam Khomeini, Teheran, menjelang
waktu salat Jumat. Maka, saya pun ingin segera ke masjid: sembahyang Jumat.
Saya tahu tidak ada kampung di sekitar bandara itu. Dari atas terlihat
bandara tersebut seperti benda jatuh di tengah gurun tandus yang mahaluas.
Tapi, setidaknya pasti ada masjid di bandara itu.

Memang ada masjid di bandara itu, tapi tidak dipakai sembahyang Jumat. Saya
pun minta diantarkan ke desa atau kota kecil terdekat. Ternyata saya kecele.
Di Iran tidak banyak tempat yang menyelenggarakan sembahyang Jumat. Bahkan,
di kota sebesar Teheran, ibu kota negara dengan penduduk 16 juta orang itu,
hanya ada satu tempat sembahyang Jumat.

Itu pun bukan di masjid, tapi di Universitas Teheran. Dari bandara
memerlukan waktu perjalanan 1 jam. Atau bisa juga ke kota suci Qum. Tapi,
jaraknya lebih jauh lagi. Di negara Islam Iran, Jumatan hanya
diselenggarakan di satu tempat di setiap kota besar.

"Jadi, tidak ada tempat Jumatan di bandara ini?" tanya saya.
"Tidak ada. Kalau kita mau Jumatan, harus ke Teheran (40 km) atau ke Qum (70
km). Sampai di sana waktunya sudah lewat," katanya. Salat Jumat ternyata
memang tidak wajib di negara Islam Iran yang menganut aliran Syiah itu. Juga
tidak menggantikan salat Duhur. Jadi, siapa pun yang salat Jumat tetap harus
salat duhur.

Karena Jumat adalah hari libur, saya tidak dijadwalkan rapat atau meninjau
proyek. Maka, waktu setengah hari itu saya manfaatkan untuk ke kota suci
Qum. Jalan tolnya tidak terlalu mulus, tapi sangat OK: enam jalur dan
tarifnya hanya Rp 4.000. Tarif itu kelihatannya memang hanya dimaksudkan
untuk biaya pemeliharaan.

Sepanjang perjalanan ke Qum tidak terlihat apa pun. Sejauh mata memandang,
yang terlihat hanya gurun, gunung tandus, dan jaringan listrik. Saya
bayangkan alangkah enaknya membangun SUTET (saluran udara tegangan
ekstratinggi) di Iran. Tidak ada urusan dengan penduduk. Alangkah kecilnya
gangguan listrik karena tidak ada jaringan yang terkena pohon. Pohon begitu
langka di sini.

Begitu juga letak kota suci Qum. Kota ini seperti berada di tengah-tengah
padang yang tandus. Karena itu, bangunan masjidnya yang amat besar, yang
berada dalam satu kompleks dengan madrasah yang juga besar, kelihatan sekali
menonjol sejak dari jauh.

Tujuan utama kami tentu ke masjid itu. Inilah masjid yang luar biasa
terkenalnya di kalangan umat Islam Syiah. Kalau pemerintahan Iran dikontrol
ketat oleh para mullah, di Qum inilah pusat mullah. Demokrasi di Iran memang
demokrasi yang dikontrol oleh ulama. Presidennya dipilih secara demokratis
untuk masa jabatan paling lama dua kali. Tapi, sang presiden harus taat
kepada pemimpin tertinggi agama yang sekarang dipegang Imam Khamenei. Siapa
pun bisa mencalonkan diri sebagai presiden (tidak harus dari partai), tapi
harus lolos seleksi oleh dewan ulama.

Tapi, sang imam bukan seorang diktator mutlak. Dia dipilih secara demokratis
oleh sebuah lembaga yang beranggota 85 mullah. Setiap mullah itu pun dipilih
langsung secara demokratis oleh rakyat.

Dalam praktik sehari-hari, ternyata tidak seseram yang kita bayangkan. Amat
jarang lembaga keagamaan itu mengintervensi pemerintah. "Dalam lima tahun
terakhir, kami belum pernah mendengar campur tangan mullah ke pemerintah,"
ujar seorang CEO perusahaan besar di Teheran.

Saya memang kaget melihat kehidupan sehari-hari di Iran, termasuk di kota
suci Qum. Banyak sekali wanita yang mengendarai mobil. Tidak seperti di
negara-negara di jazirah Arab yang wanitanya dilarang mengendarai mobil.
Bahkan, orang Iran menilai negara yang melarang wanita mengendarai mobil
dan melarang wanita memilih dalam pemilu bukanlah negara yang bisa menyebut
dirinya negara Islam. Dan lihatlah cara wanita Iran berpakaian. Termasuk di
kota suci Qum. Memang, semua wanita diwajibkan mengenakan kerudung (termasuk
wanita asing), tapi ya tidak lebih dari kerudung itu. Bukan jilbab, apalagi
burqa. Kerudung itu menutup rapi kepala, tapi boleh menyisakan bagian depan
rambut mereka. Maka, siapa pun bisa melihat mode bagian depan rambut wanita
Iran. Ada yang dibuat modis sedikit keriting dan sedikit dijuntaikan keluar
dari kerudung. Ada pula yang terlihat dibuat modis dengan cara mewarnai
rambut mereka. Ada yang blonde, ada pula yang kemerah-merahan.

Bagaimana baju mereka? Pakaian atas wanita Iran umumnya juga sangat modis.
Baju panjang sebatas lutut atau sampai ke mata kaki. Pakaian bawahnya hampir
100 persen celana panjang yang cukup ketat. Ada yang terbuat dari kain
biasa, tapi banyak juga yang celana jins. Dengan tampilan pakaian seperti
itu, ditambah dengan tubuh mereka yang umumnya langsing, wanita Iran
terlihat sangat modis.

Apalagi, seperti kata orang Iran, di antara sepuluh wanita Iran, yang cantik
ada sebelas! Sedikit sekali saya melihat wanita Iran yang memakai burqa, itu
pun tidak ada yang sampai menutup wajah.

Sampai di kota Qum, sembahyang Jumatnya memang sudah selesai. Ribuan orang
bubaran keluar dari masjid. Saya pun melawan arus masuk ke masjid melalui
pintu 15. Setelah salat Duhur, saya ikut ziarah ke makam Fatimah yang
dikunjungi ribuan jamaah itu. Makam itu berada di dalam masjid sehingga
suasananya mengesankan seperti ziarah ke makan Rasulullah di Masjid Nabawi.
Apalagi, banyak juga orang yang kemudian salat dan membaca Alquran di dekat
situ yang mengesankan orang seperti berada di Raudlah.

Yang juga menarik adalah strata sosialnya. Kota Metropolitan Teheran
berpenduduk 16 juta dan dengan ukuran 50 km garis tengah adalah kota yang
sangat besar. Sebanding dengan Jakarta dengan Jabotabek-nya. Tetapi, tidak
terlihat ada keruwetan lalu lintas di Teheran. Memang, Teheran tidak
memiliki kawasan yang cantik seperti Jalan Thamrin-Sudirman, namun sama
sekali tidak terlihat ada kawasan kumuh seperti Pejompongan dan Bendungan
Hilir. Memang, tidak banyak gedung pencakar langit yang cantik, tapi juga
tidak terlihat gubuk dan bangunan kumuh.

Kota Teheran tidak memiliki bagian kota yang terlihat mewah, tetapi juga
tidak terlihat ada bagian kota yang miskin. Teheran bukan kota yang sangat
bersih, tapi juga tidak terasa kotor. Di jalan-jalan yang penuh dengan mobil
itu saya tidak melihat ada Mercy mewah, apalagi Ferrari, tapi juga tidak ada
bajaj, motor, atau mobil kelas 600 hingga 1.000 cc.

Lebih dari 90 persen mobil yang memenuhi jalan adalah sedan kelas 1.500
hingga 2.000 cc. Saya tidak melihat ada mal-mal yang besar di Teheran. Tapi,
saya juga sama sekali tidak melihat ada pedagang kaki lima, apalagi
pengemis. Wanitanya juga tidak ada yang sampai pakai burqa, tapi juga tidak
ada yang berpakaian merangsang. Orangnya rata-rata juga ramah dan sopan.
Baik dalam sikap maupun kata-kata.

Pemerataan pembangunan terasa sekali berhasil diwujudkan di Iran. Semua
rumah bisa masak dengan gas yang dialirkan melalui pipa tersentral. Demikian
juga, 99 persen rumah di Iran menikmati listrik "untuk tidak menyebutkan 100
persen.

Melihat Iran seperti itu saya jadi teringat makna kata yang ditempatkan di
bagian tengah-tengah Alquran: Wal Yatalaththaf!



Tahan Banting dengan Tradisi Keilmuan dan Bazari

Bagaimana Iran ke depan? Mengapa setelah lebih 30 tahun diisolasi dan
diembargo Amerika Serikat, Iran tidak kolaps seperti Burma, Korut atau Kuba?
Banyak faktor yang melatarbelakanginya. Pertama, saat mulai diisolasi dulu
kondisi Iran sudah cukup maju. Kedua, tradisi keilmuan bangsa Iran termasuk
yang terbaik di dunia. Ketiga, Iran penghasil minyak dan gas yang sangat
besar. Keempat, jumlah penduduk Iran cukup besar untuk bisa mengembangkan
ekonomi domestik. Kelima, tradisi dagang masyarakat Iran sudah terkenal
dengan golongan bazari-nya.

Tradisi dagang itu tidak mudah dikalahkan. Pedagang selalu bisa berkelit
dari kesulitan. Ini berbeda dengan tradisi agraris. Seperti Cina, meski 60
tahun dikungkung oleh komunisme Mao Zedong yang kaku, penduduknya tetap
tidak lupa kebiasaan dagang. Demikian juga warga Iran. Ini terbukti sampai
sekarang pun. Setelah lebih 20 tahun diisolasi pun sektor jasa masih
menyumbang sampai 40 persen GDP negara itu. Penduduk Iran yang 75 juta orang
juga menjadi kekuatan ekonomi tersendiri. Apalagi saat mulai diisolasi oleh
Amerika tahun 80-an, kondisi Iran sudah tidak tergolong negara miskin. Kelas
menengah di Iran sangat dominan. Inilah faktor yang dulu membuat revolusi
Islam Iran tahun 1979 berhasil menumbangkan diktator Syah Pahlevi.

Keberhasilan itu disebabkan masyarakat di Iran didominasi kaum bazari.
Pedagang kelas menengah. Yakni bukan konglomerat yang ketakutan ditebas
penguasa, dan bukan pedagang kecil yang takut kehilangan tempat bergantung.
Belum lagi kekayaan alamnya. Iran adalah negara kedua terbesar


Dahlan Iskan

CEO PLN

0 comments:

Posting Komentar

komentar anda sangat kami harapkan :