Featured Article

Selasa, 21 Juni 2011

Tahayyul Membonceng Gerhana

Oleh Abdul Mutaqin
Kemarin malam (Kamis dinihari pagi), saya berkesempatan lagi “menyolati” bulan. Beruntung sekali, saya berteman dengan orang-orang yang masih menaruh minat menegakkan sunnah Rasul ketika gerhana terjadi. Sejak sore hari, beberapa sms masuk ke HP saya mengingatkan “dini hari nanti, gerhana bulan total. Jangan lupa, solat gerhana, khutbah, berdo’a dan sedekah”. Beruntung, saya sedikit tahu dari kitab-kitab fiqih bahwa saat gerhana terjadi ada kaifiah menyikapinya. Lebih beruntung, bergaul rapat dengan komunitas yang selalu menginstruksikan agar melaksanakan shalat gerhana sesuai tuntunan Rasulullah shallaaahu ‘alayhi wa sallam.
Dengan tidak bermaksud mengecilkan, sholat gerhana termasuk sunnah yang sering terlewatkan oleh mayoritas muslimin. Saya berani bertaruh, tidak ada antusiasme sebesar tradisi nisyfu Sya’ban, maulid, Isr’a wal Mi’raj, nujuh bulan atau haul dan peringatan kematian. Padahal, Rasulullah shallaaahu ‘alayhi wa sallam sangat tegas mengajarkan ummatnya soal gerhana. Maka tidaklah mengherankan, meskipun berita tentang akan terjadi gerhana bulan total kemarin itu tersebar luas di media, ummat terkesan adem ayem saja. Begitu juga halnya imbauan untuk melakukan solat gerhana.
Memang, ibadah bersifat sangat pribadi dan bukan untuk dibangga-banggakan. Tetapi mengajak dan mengingatkan sesama muslim, “Ini loh, ada sunnah Nabi yang perlu dihidupkan. Sunnah yang jarang-jarang bisa dilaksanakan karena harus menunggu gerhana dulu”, harus pula dipahami sebagai seruan amar ma’ruf. Begitulah, menegakkan sunnah ada yang ringan, sedang dan berat. Sholat gerhana, rasanya memang tidak seringan menebarkan salam.
Biasanya, para ilmuan, astronom, ahli hisab atau pemerhati gejala alam tidak akan melewatkan momentum gerhana. Sejak mula detik pertama gerhana terjadi, dicatat dan diamati sampai gerhana berakhir. Apa hasilnya dari pengamatan itu? Mereka bisa memprediksi kapan gerhana akan terjadi kembali. Dan biasanya, seperti gerhana bulan total kemarin malam itu, prediksi itu akurat. Artinya, gejala alam seperti gerhana bulan atau matahari, bisa diprediksi kapan terjadi. Dan berulangkali prediksi itu tepat. Kita lihat saja, menurut para ahli, gerhana bulan akan terjadi lagi pada 11 Desember 2011 nanti. Kita tunggu.
Ketepatan dan akurasi soal kapan terjadi gerhana memang memungkinkan. Sebab peredaran matahari dan bulan ternyata bisa dihitung. Posisi matahari dan bulan sudah bisa ditentukan dengan perhitungan (hisab) dari waktu ke waktu. Apalagi dibantu dengan teknologi maju seperti sekarang.
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (terjemah QS. Yunus [10] : 5)
Gerhana bulan itu terjadi saat purnama. Ia bisa dihisab dan sudah pasti bisa diru’yat jika cuaca cerah. Artinya, gerhana bulan yang pasti bisa diru’yat itu, sebelumnya sudah dihitung lebih dulu oleh metode hisab. Di sini, seolah tidak ada pertentangan soal hisab dan ru’yat. Pertentangan keduanya baru hangat lagi saat penentuan awal bulan, baik untuk 1 Ramadhan atau 1 Syawwal. Saya berpikir, jika perhitungan hisab dalam kasus gerhana itu akurat, mengapa hisab sering diperdebatkan saat penentuan awal bulan? Allahu a’lam. Ah, bisa jadi karena saya bukan sama sekali ahli bidang itu.
Pada masa Nabi, gerhana dan solat gerhana itu karena spontanitas. Saat ada gerhana, spontan nabi mengajak para sahabat untuk melaksanakan solat gerhana. Lha sekarang, saya kira solat gerhana itu bisa direncanakan. Mengapa? Karena dengan hisab dan teknologi, perhitungan mengenai matahari dan bulan dan kapan terjadi gerhana, sudah diprediksi sebelumnya. Mudah bukan? Di satu sisi, dengan kemajuan teknologi ini, sebenarnya kita dimanjakan untuk melaksanakan sunnah. Tapi rupanya kemudahan itu belum disadari merata kehadirannya. Yang terasa tidak elok, adalah sikap yang seolah meremehkan, “Ah …, itu kan hanya sunnah. Masih banyak sunnah-sunnah yang lain kok”. Kok?
Menyaksikan gerhana bagi seorang muslim, bukan sebatas menyaksikan keajaiban alam semesta sebagaimana layaknya kekaguman para saintis. Tetapi bagaimana kemudian ketakjuban itu diarahkan pada ke-Maha Agungan Allah atas segala ciptaan-Nya. Dia yang Menciptakan. Dia Yang Memelihara. Dia Yang Mengatur. Dan Dia pula Yang Menghancurkan. Wajarlah jika kemudian Rasulullah mengajarkan ummatnya bagaimana cara yang hanif saat mereka disapa gerhana. Maka solat gerhana, memanjatkan doa dan banyak bersedekah, merupakan kombinasi dari ketakjuban atas Kuasa-Nya, rasa takut, tunduk dan patuh serta rasa syukur yang membuncah. Sungguh, sunnah Rasululah itu indah dan manusiawi.
Jika saintis sebatas kagum, lain halnya dengan si otak tahyul. Oleh mereka gerhana dihubung-hubungkan dengan misitisisme irasional. Konon saat gerhana, gelap adalah keadaan di mana matahari atau bulan sedang ditelan raksasa. Supaya raksasa itu gagal menelan benda langit itu, dipukullah lesung, alu, perabot rumah, kaleng rombeng untuk menimbulkan suasana gaduh dan bising. Karena suasana gaduh dan bising itulah, sang raksasa terganggu dan memuntahkan kembali matahari atau bulan yang berada di mulut raksasa. Selamatlah bulan atau matahari. Dan dunia terang kembali setelah beberapa waktu diselimuti gelap.
Aroma mistik gerhana juga merambah ke atas ranjang. Entah siapa yang memulai, sepasang suami isteri berpantang melakukan hubungan badan saat ada gerhana. Mereka khawatir jika terjadi pembuahan karena hubungan itu, wajah anak mereka kelak akan dwi warna; separuh cemong, separuhnya lagi cerah bercahaya. Tak pelak, wanita-wanita hamil pun blingsatan masuk ke kolong bale-bale sebab khawatir bayinya kelak separuh hitam separuh putih.
Masyarakat Indian percaya, Naga lah yang menelan bulan atau matahari itu. Maka mereka melakukan ritual berendam di air sebatas leher agar sang Naga gagal menelan bulan dan matahari itu.
Masyarakat negeri Sakura percaya, saat gerhana dan gelap menyelimuti, racun tengah disebar di atas muka bumi. Maka mereka segera menutup rapat-rapat sumur-sumur dan sumber air mereka agar tak tercemar oleh racun itu. Demikian pula masyarakat Eropa, masyarakat yang dikenal rasional itu tidak luput dari balutan tayahul saat gerhana terjadi.
Pada masa Nabi, bau-bau tahayul dan mistis saat gerhana juga sudah tercium. Beberapa riwayat menyebutkan, satu kali terjadi gerhana matahari berbarengan dengan wafatnya putra Rasulullah shallaahu ‘aliyhi wa sallam; Ibrahim pada sekitar tahun ke-10 H. Masyarakat ribut dan menghubung-hubungkan kejadian gerhana disebabkan karena putra Nabi wafat. Berita ini sampai ke telinga Nabi dan segera beliau meluruskan sisa-sisa kepercayaan jahiliyah itu.
Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu dinyatakan, telah terjadi gerhana matahari, lalu Nabi berdiri, khawatir terjadi kiamat, terus berangkat ke masjid, lantas Nabi berdiri, ruku’ dan sujud yang lama, tidak pernah sebelumnya aku melihat seperti itu, Dan Rasulullah bersabda, “Tanda-tanda kebesaran Allah dan yang Dia kirimkan ini bukanlah karena kematian atau hidupnya seseorang, namun dengannya Allah hendak menakuti hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu jika kamu melhat gerhana itu, maka segeralah kamu menyebut nama-Nya, berdo’a kepada-Nya, dan mohon ampun kepada-Nya.” (Muttafaq ‘alaih).
Demikian pula yang dilaporkan Ibnu Abbas. Sesaat masyarakat ribut menghubung-hubungkan kematian Ibrahim dengan penomena gerhana, Rasulullah segera bertindak membersihkan pikiran tahayul dari isi kepala dan hati mereka. Ibnu Abbas melaporkan:
“Kemudian Nabi berdiri, lalu memberikan khutbah kepada hadirin dan memuji kepada Allah dengan semestinya. Lalu katanya,” Matahari dan bulan adalah dua macam tanda dari sekian banyak ayat-ayat Allah. Terjadinya gerhana matahari atau bulan bukanlah karena mati atau hidupnya sesorang. Karena itu, jika kamu melihatnya, segeralah mengerjakan shalat”. (HR. Syaikhani).
Sekali seumur hidup, jangan sampai lengah. Masa, sekali pun belum pernah ikutan solat gerhana?
Solat gerhana itu hanya dua rokaat. Setiap rokaat dua kali baca Al-Fatihah, dua kali baca surah, dua kali ruku dan dua kali sujud. Pada rokaat pertama setelah imam membaca Al-Fatihah dan surah yang dizaharkan, dilanjutkan dengan ruku. Menurut sunnah, rukunya panjang. Sehabis bangun dari ruku (i’tidal) seraya imam mengucap sami’aAllaahu liman hamidah, imam kembali membaca Al-Fatihah kemudian membaca surah lagi. Lalu ruku sekali lagi, i’tidal dan kemudian sujud dua kali. Kaifiyah ini diulangi pada rokaat yang kedua. Lalu salam. Dan mendengarkan khutbah.
Mendirikan solat gerhana bukan berarti menyembah matahari atau bulan seperti yang dituduhkan orang-orang usil dan dengki dengan lurusnya syari’at Islam. Sudah bukan rahasia lagi, banyak orang menuduh kaum muslimin tengah menyembah Ka’bah atau Hajar Aswad saat mereka berhaji. Keliru. Sama kelirunya ketika melihat kita berdiri melaksanakan solat sunnah gerhana, mereka tuduh sedang mengagungkan dan mempertuhankan matahari dan bulan. Nehi. Al-Qur’an menyatakan, haram hukumnya manusia menyembah bulan dan matahari, tetapi kita tengah mengagungkan yang menciptakan matahari dan bulan itu.
Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah Yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah. (terjemah QS. Fushilat [41] : 37)
Begitulah urgensi gerhana dan respons sunnah atasnya. Melalui penomena gerhana, sunnah tengah mendidik kita meneguhkan tiga pilar pokok; pilar aqidah dengan menjernihkan iman bahwa gerhana itu hanya satu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Tidak ada hubungannya dengan kematian dan kelahiran seseorang. Ini kita dapatkan dari melaksanakan takbir dan berdo’a saat gerhana terjadi. Kedua pilar ibadah, dengan mendirikan dua rokaat solat sunnah gerhana. Para ulama sepakat, bahwa solat gerhana itu sunnah mu’akkadah. Dan ketiga pilar mu’amalah dengan membudayakan sedekah.
Dengan begitu, bukankah solat gerhana itu sayang untuk dilewatkan? Semog Allah semakin memperteguh iman kita dengan phenomena gerhana. Aamiin. Allahu a’lam.

Wajah Bercahaya

Tak biasanya sepulang menunaikan shalat maghrib di masjid bersama ayah dan kakaknya, putri kecilku menguak pintu tanpa mengucap salam. Tangisnya terdengar sejak masih di halaman. Ia langsung menghambur dan memeluk saya sambil mengadukan sesuatu. Sayangnya, apa yang ia sampaikan di sela tangisnya itu tak dapat saya dengar dengan jelas.
Air matanya menetes menembus kain mukena yang masih membalut tubuh saya yang baru saja usai mengajari putri bungsu menghapalkan sebuah doa. Bahunya naik turun seirama tangisnya. Saya elus-elus ia, berharap dapat menenangkan hatinya agar tangis itu segera reda.
Tak lama kemudian pangeran kecilku masuk sambil mengucap salam. Raut mukanya terlihat ikut prihatin dengan kesedihan yang dialami adiknya. Tanpa diminta ia langsung menjelaskan apa yang menyebabkan adiknya bersedih.
Ternyata usai shalat maghrib tadi, mereka mampir ke sebuah mini market. Ayahnya hendak membeli suatu keperluan. Saat itulah si putri kecil merengek meminta ayahnya membelikan suatu produk kecantikan yang disinyalir dapat membuat wajah seorang wanita bercahaya dan tampak lebih muda. Ia ingin menghadiahkannya pada saya. Namun, sang ayah tak mengabulkan keinginannya itu.
Geli bercampur haru mendengar tuturan pangeran kecil tentang penyebab tangis si putri nan penuh perhatian ini. Rupanya, ia terjerat iklan yang sering tayang saat kami menyimak berita televisi. Tetapi terlepas dari bicara tentang perangkap iklan, saya merasakan niat mulia si putri yang baru berusia 4,5 tahun itu. Betapa besar perhatiannya hingga mencari-cari produk kecantikan tersebut. Padahal anak seusia ia biasanya sibuk memilih mainan, makanan atau minuman kesukaan saat menyertai orangtua berbelanja, iya kan?
Tangisnya mulai mereda, sepertinya ia merasa lega ada yang membantu menyampaikan kesedihan hatinya. Sejenak saya lepaskan pelukannya, sekedar ingin menatap bola matanya. Sebuah senyuman saya sunggingkan disertai ucapan terimakasih atas perhatiannya itu lalu kembali saya dekap ia dengan sepenuh rasa sayang di hati.
Sesaat kemudian saya lirik suami, memberi tanda padanya agar menjelaskan mengapa keinginan gadis kecil itu tak dipenuhinya. Spontanitas ingin membela anak terasa lebih merajai hati saat itu, padahal belum mengetahui jawaban sang ayah yang menyebabkan perasaan si putri terluka (mungkinkah ini yang dinamakan bagian dari naluri seorang ibu?).
Setelah berdehem beberapa kali, suamiku menceritakan alasannya bahwa ia tak membawa dompet, hanya berbekal uang yang ada di saku baju kokonya saat mendadak mampir ke toko tersebut. Belum usai ia bertutur, si putri kecil kembali meradang, “tapi aku kan ingin beli barang itu,... biar wajah bunda bercahaya kalo pake itu, huhuhhu...” tangisnya pecah kembali.
Sama halnya dengan saya, suamiku tersenyum menanggapi protes si putri kecil, beberapa detik kemudian sambil menatap saya, ia berkata, “Bunda itu akan terlihat bercahaya cukup dengan air wudhu'.”
Sejenak saya tertegun, tak menyangka suamiku akan berkata demikian, meskipun dalam hati saya setuju dengan apa yang ia ucapkan, namun naluri ingin membela anak muncul kembali. Tanpa berpikir panjang, segera saya katakan, “ya itu memang benar, tapi...merawat wajah dengan produk-produk itu pun tak ada salahnya bukan?” Ia tak menjawab pertanyaan saya, hanya ada seulas senyum yang terkembang lalu pamit dan bergegas mengajak anak-anak keluar karena adzan isya telah berkumandang. Saya pun bersiap-siap mengajak putri bungsu untuk shalat berjamaah di rumah.
Usai shalat isya, pembicaraan mengenai wajah bercahaya itu kembali melintas. Wudhu'... wudhu'...wudhu'... kata itu serasa menggema di hati dan memenuhi kepala. Saya rasa sewaktu belajar tata cara berwudhu' saat masa kecil, guru agama pernah mengajarkan keutamaan wudhu' ini, akan tetapi saya tak ingat persisnya. Segera saya beranjak untuk mencari tahu lagi tentang hal tersebut, perlahan saya baca beberapa sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam...
Sesungguhnya umatku akan dipanggil pada hari kiamat nanti dalam keadaan dahi, kedua tangan dan kaki mereka bercahaya, karena bekas wudhu’.” (HR. Al Bukhari no. 136 dan Muslim no. 246)
Dapat dipastikan tak ada satu produk kecantikan pun yang mampu menandingi cahaya yang terpancar dari wajah orang-orang yang terjaga wudhu'nya. Karena cahaya dari air wudhu tak hanya dirasakan di dunia tapi di hari kiamat pun mereka akan mudah dikenali Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits, “Bagaimana engkau mengenali umatmu setelah sepeninggalmu, wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam? Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Tahukah kalian bila seseorang memilki kuda yang berwarna putih pada dahi dan kakinya diantara kuda-kuda yang yang berwarna hitam yang tidak ada warna selainnya, bukankah dia akan mengenali kudanya? Para shahabat menjawab: “Tentu wahai Rasulullah.” Rasulullah berkata: “Mereka (umatku) nanti akan datang dalam keadaan bercahaya pada dahi dan kedua tangan dan kaki, karena bekas wudhu’ mereka.” (HR. Mslim no. 249)
Tak hanya partikel-partikel debu maupun noda polusi yang dapat dikikis dari wajah, wudhu' pun dapat melakukan sesuatu yang tak dapat dilakukan oleh produk kecantikan manapun untuk dapat membasuh hal yang tak pernah luput dari manusia seperti ditegaskan dalam hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, dari sahabat Anas bin Malik: “Setiap anak cucu Adam pasti selalu melakukan kesalahan. Dan sebaik-baik mereka yang melakukan kesalahan adalah yang selalu bertaubat kepada-Nya.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, dan Ad Darimi)
Allah subhanahu wata’ala dengan rahmat-Nya yang amat luas, memberikan solusi yang mudah bagi kita untuk membersihkan diri dari noda-noda dosa, diantaranya dengan wudhu’. Hingga ketika seseorang selesai dari wudhu’ maka ia akan bersih dari noda-noda dosa tersebut.
Dari shahabat Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:“Apabila seorang muslim atau mukmin berwudhu’ kemudian mencuci wajahnya, maka akan keluar dari wajahnya tersebut setiap dosa pandangan yang dilakukan kedua matanya bersama air wudhu’ atau bersama akhir tetesan air wudhu’. Apabila ia mencuci kedua tangannya, maka akan keluar setiap dosa yang dilakukan kedua tangannya tersebut bersama air wudhu’ atau bersama akhir tetesan air wudhu’. Apabila ia mencuci kedua kaki, maka akan keluar setiap dosa yang disebabkan langkah kedua kakinya bersama air wudhu’ atau bersama tetesan akhir air wudhu’, hingga ia selesai dari wudhu’nya dalam keadaan suci dan bersih dari dosa-dosa.” (HR Muslim no. 244).
Selain itu, dengan selalu menjaga wudhu' seseorang akan memperoleh kebahagiaan yang tak bisa diberikan produk kecantikan manapun, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Maukah kalian aku tunjukkan suatu amalan yang dengannya Allah akan menghapus dosa-dosa dan mengangkat derajatnya? Para shahabat berkata: “Tentu, wahai Rasulullah. Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Menyempurnakan wudhu’ walaupun dalam kondisi sulit, memperbanyak jalan ke masjid, dan menunggu shalat setelah shalat, maka itulah yang disebut dengan ar ribath.” (HR. Muslim no. 251)
Siapa yang tak menginginkan wajah bercahaya yang mudah dikenali Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam? Siapa yang tak ingin dosa-dosanya dihapus dan derajatnya dinaikan Allah subhanahu wata'ala? Saya yakin, semua umat Islam pasti menginginkannya, bukan?
Subhanallah! Kilauan mutiara hikmah dari kejadian usai shalat maghrib itu kini ada di hadapan mata...

Jatuh Bangun Jilbabku

Pernah sekali waktu aku bertanya di dalam hati, “Kenapa ya teman-temanku pakai jilbab kok dilepas lagi?” Aku mengelus dada dan mencoba menjawab pertanyaan diriku.
Pernah sekali waktu aku bertanya di dalam hati, “Kenapa ya teman-temanku pakai jilbab kok dilepas lagi?” Aku mengelus dada dan mencoba menjawab pertanyaan diriku.
Bermacam-macam perkiraan yang terlintas di pikiran. Pakai jilbab nggak update, risih, panas, ribet. Mungkin seperti itulah alasan teman-temanku yang tak terlihat lagi pakai jilbab.
Di sekolah jilbab masih melekat di tubuh mereka. Aurat mereka tak terlihat. Terlihat anggun memang. Tapi entah kenapa setelah mereka keluar dari kewajiban sekolah untuk memakai jilbab, jilbab yang sungguh mulia ini dilepas begitu saja. Mereka dengan santai keluar rumah tanpa jilbab yang menutupi aurat mereka.
Aku melihat dari jendela teman bermainku dulu yang baru mengenakan jilbab, tiba-tiba keluar tanpa jilbab. Di jalan aku bertemu dengan teman sekolahku, dia pun sama dengan teman bermainku. Ada apa dengan mereka? Tidak hanya teman baikku saja yang seperti itu, tapi kebanyakan wanita di sekelilingku. Kenapa mereka begitu menyepelekan jilbab? Padahal terpampang jelas di Al-Quran maupun hadis. Apakah mereka tahu itu?
Aku pernah berbincang-bincang dengan teman-teman di kelas dan mereka kebanyakan tahu. "Kata orangtuaku kalau pakai jilbab jangan berlebihan, masa renang aja pakai kerudung,” kata teman baikku ketika dia duduk bersama denganku. Aku hanya diam saja. Aku masih belum berani untuk meluruskan perkataan temanku itu. Aku takut dikatakan sok pintar oleh temanku. Nyaliku kecil aku hanya bisa berdoa di dalam hati. Ya Allah cukupkan hamba-hambamu ini ilmu.
Melihat keadaan teman-temanku itu, aku mulai berkaca dan sedikit-sedikit mengingat pengalamanku saat memulai mengenakan jilbab. Dulu sewaktu masuk jenjang SMP, ayahku menyuruhku memakai jilbab. Tapi apa yang keluar dari mulutku, kata “tidak” kulontarkan di saat ayahku sangat berharap aku memakai jilbab. Mengingat hal itu rasanya ingin sekali aku menangis. Kenapa dulu aku menolak permintaan ayahku. Waktu itu aku kan sudah baligh dan wajib memakai jilbab. Penolakanku didukung oleh ibuku. Kata ibuku aku masih kecil belum siap pakai jilbab.
“Sudahlah Pak jangan terlalu memaksa. Anak ini belum siap,” kata ibu karena ayah tidak bisa menjelaskan secara detil kenapa beliau menyuruhku memakai jilbab dan aku menunduk takut karena ayah memperlihatkan kekecewaannya seraya berlalu meninggalkan aku dan ibu. Maafkan aku ayah. Aku telah membuat ayah kecewa.
Sejak dulu memakai jilbab belum pernah terpikirkan sampai ayah memintaku untuk memakainya pun hal itu tidak terpikirkan. Aku masih menganggap jilbab itu ribet, panas, dan segala macam kesan negatif tentang jilbab. Memang sewaktu aku mengaji di kampung kalau pakai jilbab aku selalu ribut sendiri. Menceng sini lah, ketusuk jarumlah. Sehingga membuat ibuku berpikiran bahwa aku belum siap memakai jilbab dan menolak permintaan ayah.
Menginjak kelas dua SMP, ayahku sering membelikanku majalah religi. Tak lama berselang ayahku membelikanku majalah pemuda Islam dan kebetulan rubriknya khusu membahas tentang jilbab. Bahasan yang ringan dan mudah dimengerti, aku pun semakin tertarik dan semakin yakin bahwa aku harus memakai jilbab. Semakin sering ayahku membelikanku majalah tersebut, semakin terdorong semangatku untuk menggali ilmu agama.
Saat duduk kelas tiga SMP aku belum memakai jilbab. Tadinya aku sudah berniat untuk mulai memakai jilbab tapi karena aku sudah kelas 3 SMP dan sebentar lagi lulus, maka ibu menyarankan agar aku memakai jilbab pada waktu masuk SMA. Ya sudah aku mengikuti saran ibuku lagi. Tapi niatanku untuk memakai jilbab tetap harus kurealisasikan.
Aku mencoba keluar rumah dengan memakai jilbab. Pada awal mulanya aku agak canggung memakai jilbab. Tapi, aku coba membujuk diriku sendiri untuk tetap terus mengenakan pakaian mulia ini. Lama kelamaan aku mulai terbiasa keluar rumah memakai jilbab. Aku merasa aman dengan memakai jilbab ini. Aku jadi tidak sabar menunggu datangnya waktu aku masuk bangku SMA. Karena di waktu itulah aku mulai menyempurnakan kewajibanku sebagai seorang muslimah yang sudah baligh.
Walaupun aku sudah memakai jilbab jika keluar rumah. Belum lengkap rasanya kalau sekolah tidak memakai jilbab. Perasaan tidak aman masih menyeruak di hatiku setelah aku tahu memakai jilbab adalah suatu kewajiban.
Tiga tahun sudah aku menjalani hari-hariku di SMP negeri tanpa jilbab. Sebelum aku tahu seluk beluk jilbab aku cuek sekali dengan penampilan. Aku masih pakai baju ketat yang menampakkan lekuk tubuh. Hal itu terkadang mengundang pikiran negatif orang lain. Setiap berjalan selalu digoda oleh anak laki-laki di jalan. Mungkin ini sering dialami oleh banyak wanita yang belum memakai jilbab. Sekarang setelah aku tahu tentang jilbab, aku langsung membuang jauh-jauh pikiran negatif tentang jilbab. Bismillaahir rahmaanir raahim aku berniat pakai jilbab.
Memasuki jenjang SMA niatanku untuk memakai jilbab secara sempurna terealisasikan. Ternyata yang memakai jilbab di sekolahku banyak juga. Aku senang sekali melihat teman-teman satu sekolah yang memakai jilbab. Waktu pertama kali aku masuk SMA aku tidak begitu peduli dengan teman-teman yang terkadang mempermainkan jilbab karena dulu aku juga masih belia sehingga untuk mengingatkan temanku masih terganjal dengan kurangnya ilmu. Oleh karena itu, aku terus berusaha menambah ilmu agamaku.
Ketika mengikuti salat jamaah di mushola sekolah, aku melirik kakak kelas yang sedang berwudhu. “Kerudungnya kok besar sekali.” Aku memandangi kakak itu sampai ia selesai berwudhu. Rasa penasaranku terusik kembali. Aku buka kembali majalah Elfata dan majalah milik ayah kubaca berulang-ulang sampai mudeng. Ternyata jilbabku belum syar’i. Aku melihat diriku di kaca. Aku harus bagaimana. Apa aku harus merubah penampilanku? Ya, aku harus memakai jilbab yang syar’i yaitu jilbab yang sesuai dengan apa yang tercantum dalam Al-Quran dan as-sunnah. Aku menata kembali jilbabku dan sedikit demi sedikit tapi pasti kuperbaiki jilbabku sejalan dengan bertambahnya usia dewasaku.
Tiga tahun sudah aku memakai jilbab. Dan dalam waktu tiga tahun itu, tidak semua perubahan positif pada diriku diterima oleh orang-orang di sekelilingku. Sering sekali ibuku memojokkanku untuk berpakaian seperti layaknya teman-teman sekolah maupun teman-teman bermainku. “Nduk, kalau pakai kerudung jangan besar-besar dong. Kalau pakai kerudung biasa-biasa saja seperti teman-temanmu yang lain.” Berulang kali ibuku berkata seperti itu dan berulang kali aku menjelaskan kepada ibuku. Terkadang aku dibantu ayahku untuk menjelaskan hal itu kepada ibuku. Tapi tetap saja ibuku berkata seperti itu jika aku keluar rumah memakai jilbab yang lumayan lebar.
Tidak hanya ibuku saja yang memandang diriku aneh dan kaku. Teman bermainku pun juga memandang diriku aneh. Memang aku mengalami perubahan baik sikap maupun penampilanku tiga tahun semenjak duduk di bangku SMA ini.
Sampai aku menulis kisah ini aku merasa masih belum percaya diri memakai jilbab yang syar’i, dengan adanya berita-berita tentang teroris yang membuat ibuku bertambah sering memojokkanku. “Itu lihat nduk di TV wanita-wanita kerudungnya besar-besar kayak kamu. Makanya kalau pakai kerudung jangan besar-besar nanti dianggap negatif sama orang lain lho.” Aku hanya bisa diam mendengar hal itu. Ingin sekali rasanya aku memberontak kepada ibu. Tapi kutahan, aku tidak mau membuat ibuku sedih. Aku biarkan saja ibuku berkata seperti itu karena aku merasa sudah tidak bisa meluluhkan hati ibu. Aku hanya bisa berdoa, berdoa, dan berdoa semoga Allah membuka hati ibu untuk menerima perubahan aku ini.
Keyakinanku akan jilbab tertimpa masalah lagi. Semakin ciut rasa percaya diriku sesaat setelah melihat teman-temanku berpakaian ala zaman sekarang dan melihat teman seorganisasiku memakai jilbab yang semakin lama semakin kecil. Aku coba dongkrak rasa percaya diriku. Aku yakin jilbab ini juga tidak kalah keren dengan mode zaman sekarang. Rasa percaya diriku sedikit bertambah melihat temanku yang berani mengambil keputusan untuk memakai jilbab lebar. Malahan dia lebih lebar dari jilbabku. Temanku ini juga sering menyemangatiku “keep istiqomah”. Ini mengartikan bahwa aku harus tetap di jalan ini. Menjadi muslimah yang selalu istiqomah. Semoga Allah membalas kebaikan temanku ini.
Banyak sekali godaan dan rayuan setan yang mendesakku untuk menanggalkan pakaian mulia ini. Godaan yang pernah membuatku berpikiran untuk menanggalkan jilbab. Semua perubahan positif tidak selalu diterima dengan lapang. Banyak tantangan yang harus dihadapi. ke-istiqomah-an yang selalu naik turun. Terkadang pakai jilbab kecil, jlbab berwarna-warni maupun baju ketat. Ya Allah aku menyesal mengingat hal ini. Tapi Allah itu tidak pernah jauh dari umatnya yang mempunyai niat baik. Aku tahu itu dan aku yakin itu karena aku mengalaminya.
Subhanallah jilbab ini adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul. Jilbab itu ‘iffah (kemuliaan). Jilbab itu kesucian. Jilbab itu pelindung. Jilbab itu taqwa. Jilbab itu iman. Jilbab itu haya’ (rasa malu). Jilbab itu ghirah (perasaan cemburu). Tak kan ada rasa sesal maupun kecewa sedikit pun memakai jilbab ini. Kesetiaan pada jilbablah yang harus kulekatkan di hati.
Aku bersyukur mempunyai orangtua yang masih memberikan kebebasan bagiku untuk mengambil keputusan dalam memilih jalan hidup ini. Meskipun ayahku tidak menjelaskan secara langsung.
Alhamdulillah melalui media majalah maupun artikel aku mendapatkan suatu pelajaran penting yang sebelumnya tak pernah terpikirkan. Walau terganjal dengan sikap ibuku yang masih belum menerima sepenuhnya perubahan aku ini.
Tetapi aku tetap setia. Sampai sekarang aku berpikir takkan pernah usai, takkan bosan dan takkan pernah lelah untuk membahas masalah jilbab syar’i menurut Al Quran dan hadis lewat media apa pun, karena hal ini meski ringan dan selalu sama pembahasannya, merealisasikan tetap masih sulit. Semua media dakwah sering mengangkat masalah jilbab, tapi tak banyak orang hanya setengah-setengah dalam memahami makna jilbab secara benar.
Ingat, pahami, dan ikatkan pada hati cinta Allah terhadap makhluk bernama wanita lewat ayat QS. Al-Ahzab: 59 dan QS. An-Nuur ayat 31. ayat ini akan selalu mengitari kehidupan wanita sampai kapan pun;
1. “Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min:”Hendaklah mereka menjulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka“. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59).
2. “Katakanlah kepada wanita yang beriman.Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka atau ayah suami mereka (mertua) atau putra-putra mereka atau putra-putra suami mereka atau saudara-saudara mereka (kakak dan adiknya) atau putra-putra saudara laki-laki mereka atau putra-putra saudara perempuan mereka (keponakan) atau wanita-wanita Islam atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti aurat wanita...” (QS. An-Nuur ayat 31).
Teman-temanku yang masih menyepelekan jilbab, semoga Allah memberikan jalan untuk kalian. Jalan menuju kebenaran agar mereka tidak lagi menyepelekan jilbab. “Keep Istiqomah”.
Penulis: Eva Khofiyana
Mahasiswi FKIP PBS UNS/ Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia, aktif di Forum Lingkar Pena ranting UNS Solo.

Jumat, 10 Juni 2011

Sebatang Wortel, Sebutir Telur atau Biji Kopi

Seorang anak mengeluh pada ayahnya tentang hidupnya yang sulit. Ia tidak tahu lagi harus berbuat apa dan ingin menyerah saja. Ia lelah berjuang. Setiap saat satu persoalan terpecahkan, persoalan yang lain muncul. Ayahnya, seorang juru masak, tersenyum dan membawa anak perempuannya ke dapur. Ia lalu mengambil tiga buah panci, mengisinya masing-masing dengan air dan meletakkannya pada kompor yang menyala. Beberapa saat kemudian air dalam panci-panci itu mendidih. Pada panci pertama, ia memasukkan wortel. Lalu, pada panci kedua ia memasukkan telur. Dan, pada panci ketiga ia memasukkan beberapa biji kopi tumbuk.Ia membiarkan masing-masing mendidih.

Selama itu ia terdiam seribu basa. Sang anak menggereget gigi, tak sabar menunggu dan heran dengan apa yang dilakukan oleh ayahnya. Dua puluh menit kemudian, sang ayah mematikan api. Lalu menyiduk wortel dari dalam panci dan meletakkanya pada sebuah piring. Kemudian ia mengambil telur dan meletakkanya pada piring yang sama. Terakhir ia menyaring kopi yang diletakkan pada piring itu juga.

Ia lalu menoleh pada anaknya dan bertanya, "Apa yang kau lihat, nak?" "Wortel, telur, dan kopi, " jawab sang anak. Ia membimbing anaknya mendekat dan memintanya untuk memegang wortel. Anak itu melakukan apa yang diminta dan mengatakan bahwa wortel itu terasa lunak. Kemudian sang ayah meminta anaknya memecah telur. Setelah telur itu dipecah dan dikupas, sang anak mengatakan bahwa telur rebus itu kini terasa keras. Sang anak tersenyum saat mencicipi aroma kopi yang sedap itu. "Apa maksud semua ini, ayah?" tanya sang anak.
Sang ayah menjelaskan bahwa setiap benda tadi telah mengalami hal yang sama, yaitu direbus dalam air mendidih, tetapi selepas perebusan itu mereka berubah menjadi sesuatu yang berbeda-beda. Wortel yang semula kuat dan keras, setelah direbus dalam air mendidih, berubah menjadi lunak dan lemah.
Sedangkan telur, sebaliknya, yang semula mudah pecah, kini setelah direbus menjadi keras dan kokoh. Sedangkan biji kopi tumbuk berubah menjadi sangat unik. Biji kopi, setelah direbus, malah mengubah air yang merebusnya
itu. "Maka, yang manakah dirimu?" tanya sang ayah pada anaknya. "Di saat kesulitan menghadang langkahmu, perubahan apa yang terjadi pada dirimu?
Apakah kau menjadi sebatang wortel, sebutir telur atau biji kopi?"

Rabu, 01 Juni 2011

Surat Untuk Calon Istriku, "Tegarlah di tengah Badai"

Assalamu'alaikum warohmatulloh wabarokatuh
Kepada calon istriku yang akan mengandung anak-anaku, mendidik mereka dengan tauhid dan akhlak seperti apa yang dicontohkan Rasulullah SAW dan para penerusnya yang tetap lurus menapaki jalan tauhid dan jihad. Surat ini kutuliskan untukmu agar engkau kelak tidak akan pernah kecewa dan sedih mendapatkan pasangan seperti aku yang penuh dengan kekurangan.
Calon istriku, aku tulis surat ini kepadamu agar engkau lebih mengerti jalan yang akan kita tempuh dan apa yang akan kita tuju sebagai makhluk yang dibebani oleh Allah yang MahaPerkasa di dunia yang tidak kekal ini. Agar kelak kita lebih siap untuk saling memahami, saling mengerti dan mensyukuri setiap apa yang sudah digariskan oleh Allah SWT kepada keluarga kita.
Calon istriku dan calon ibu dari anak-anakku, engkau mungkin sudah tahu jalan apa yang aku tempuh dan kehidupan seperti apa yang aku inginkan. Aku berharap engkau menjadi teman seperjalanan yang menyenangkan dalam dunia ini untuk tetap istiqomah di jalan para Rasul dan para pengikutnya. Selalu menjadikan seruan tauhid sebagai hal yang paling utama dalam hidup dan mengajarkan kepada manusia pentingnya kembali kepada rujukan utama Dien kita, Islam.
Mungkin nanti akan banyak cobaan, kesusahan dan penderitaan dalam mengarungi rumah tangga kita, sebagai manusia mungkin kita akan mengeluh, menangis dan bisa jadi mengutuki nasib. Namun yakinlah semua itu adalah cobaan untuk menjadikan kita manusia paripurna dan mendidik kita untuk tetap tegar di segala cuaca dan keadaan.
Allah berfirman: “Dan Sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS 2: 155)
Calon istriku, bila aku belum bisa membahagiakanmu seperti layaknya istri-istri orang lain, maafkanlah aku. Namun aku selalu akan berusaha sekuat tenaga untuk menjadi yang terbaik, memberikan rizki yang halal walaupun sedikit dan memenuhi hak-hak kepadamu sebagai seorang suami. Maka bantulah aku mewujudkan itu walau hanya dengan senyummu.
Calon istriku, bila suatu saat aku pergi jauh dan lama kembali, jagalah hartaku, belanjakanlah sebagian harta yang ada padamu di jalan Allah dan penuhilah hak-hak saudara seimanmu bila engkau sanggup untuk memenuhinya. Dan jagalah kehormatanku sebagai suamimu, bergaulah dengan para muslimah yang hatinya tertambat ke syurga, yang menjaga pandangan di kala sendiri dan bersama orang lain agar aku tenang karena meninggalkan seorang wanita dan seorang ibu yang menjaga apa yang ditinggalkan suaminya.
Calon istriku, engkau tahu aku bukan orang yang sempurna dalam segala hal. Maka bantulah aku menyempurnakannya dengan nasihatmu, kritikanmu dan apa yang bisa menjadikan ketaan kepada Allah dan RasulNya makin bertambah di setiap hari. Jadikan keluarga kita adalah keluarga yang sipa menerima masukan dari siapapun walaupun itu anak kecil. Karena kebenaran dikenali bukan dari siapa yang berbicara tapi apa yang disampaikan.
Yang terakhir istriku, jadikan anak-anak kita kelak seperti singa. Tidak takut bila membela kebenaran, tidak menyerah dengan keadaan dan selalu tegar ditengah badai yang menerpa. Ajarkan kepada mereka menjadi manusia yang marah bila kebenaran dihinakan, ajarkan mereka melawan setiap penindasan kepada siapapun dan didiklah mereka untuk berani berkorban apa saja bahkan nyawa untuk kemuliaan Allah, rasul dan orang-orang beriman.
Mungkin aku terlalu banyak berharap kepadamu, menuntut dirimu dan meminta apa yang mungkin terlalu berat untukmu. Namun percayalah, aku sebagai suami akan berusaha menjadi pendamping yang baik, pendengar setia masukan dan nasihatmu, saling membantu untuk terus taat kepada Allah dan RasulNya.
Suratku ini kutulis dengan segala kelemahanku, segala kekuranganku agar engkau mengerti dengan siapa engkau akan mengarungi hidup ini. Agar engkau tahu bahwa kehidupan rumah tangga tidak selalu madu dan susu. Agar engkau kelak juga tidak menjadi penghalang dalam menunaikan dakwah dan menjadi musuh pertama dalam mengendurkan semangatku untuk berjihad di jalan Allah SWT.
Sebelum kita bertemu sebagai sepasang suami-istri mari kita selalu memanjatkan doa yang pernah dibaca oleh orang yang mengetarkan tahta tiran, As-Syahid Sayyid Qutbh.
Ya Muhaimin, jika aku jatuh cinta,
jagalah cintaku padanya agar tidak
melebihi cintaku pada-Mu

Ya Allah, jika aku jatuh hati,
izinkanlah aku menyentuh hati seseorang
yang hatinya tertaut pada-Mu,
agar aku tidak terjatuh dalam jurang cinta jemu.

Ya Rabbi, jika aku jatuh hati,
jagalah hatiku padanya agar tidak
berpaling dari hati-Mu.

Ya Rabbal Izzat, jika aku rindu,
rindukanlah aku pada seseorang yang
merindui syahid di jalan-Mu.

Ya Allah, jika aku rindu,
jagalah rinduku padanya agar tidak lalai aku
merindukan syurga-Mu.

Ya Allah, jika aku menikmati cinta kekasih-Mu,
janganlah kenikmatan itu melebihi kenikmatan
indahnya bermunajat
di sepertiga malam terakhirmu.

Ya Allah, jika aku jatuh hati pada kekasih-Mu,
jangan biarkan aku tertatih dan terjatuh dalam
perjalanan panjang
menyeru manusia kepada-Mu.

Ya Allah, jika Kau halalkan aku merindui kekasih-Mu,
jangan biarkan aku melampaui batas sehingga
melupakan aku pada cinta hakiki
dan rindu abadi hanya kepada-Mu.

Ya Allah Engkau mengetahui bahawa hati-hati ini
telah berhimpun dalam cinta
pada-Mu, telah berjumpa pada taat pada-Mu, telah
bersatu dalam dakwah
pada-MU, telah berpadu dalam membela syariat-Mu.
Kukuhkanlah Ya Allah
ikatannya. Kekalkanlah cintanya. Tunjukilah
jalan-jalannya. Penuhilah
hati-hati ini dengan Nur-Mu yang tiada pernah
pudar. Lapangkanlah dada-dada
kami dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan
keindahan bertawakal di jalan-Mu.

(As-Syahid Sayyid Qutb)
Semoga Allah mengabulkan doaku dan doamu dan mempertemukan kita dalam naungan RahmatNya dan menjadikan kita pasukan yang setia kepadaNya.
Dariku calon suamimu.
Hanif Abdullah
Redaktur Majalah Online
http://ansharullah.com

Bacalah Dan Tulislah Sekarang Juga

Oleh Syaripudin Zuhri

Banyak orang yang bingung ketika disuruh untuk menulis, untuk itu mari, saya ajak anda mundur ke belakang, ke-14 abad yang lalu, ketika Rosulullah SAW pertama kali mendapat wahyu untuk membaca.
“Iqro, bacalah!” kata Malaikat Jibril kepada Muhammad SAW.
“Saya tak bisa membaca!” kata Muhammad SAW.
“Iqro, bacalah!” Jibril mengulang perintahnya pada Muhammad SAW.
“Saya tak bisa membaca!” Muhammad SAW mengulangi kata tersebut, karena memang Beliau waktu itu tidak bisa membaca, jadi apa yang harus dibaca? Begitu kira-kira alasan Muhammad SAW, yang waktu belum menjadi Rosulullah SAW.
“Iqra, bacalah!” Jibril mengulang untuk ketiga kalinya, konon sambil mendekap Muhammad SAW, nah untuk ketiga akhirnya Beliau bisa membaca dan maka wahyu pertama yang turun kepada Muhammad, dengan demikian 'resmilah' Beliau menjadi Rosulullah SAW, utusan Allah SWT.
Surat Al-Alaq ayat 1-5, ”Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” Lima ayat inilah yang 'meresmikan' atau menjadi tonggak sejarah Muhammad menjadi Rosulullah SAW, utusan Allah.
Lihat dan perhatikan kata Iqro, bacalah! Apa yang dibaca pada saat itu? Yang jelas waktu pertama kali ayat itu turun, nabi Muhammad SAW hanya berdua dengan malaikat Jibril. Jadi apa yang dibaca? Qur’an pun belum dicatat pada pertama Beliau SAW mendapat wahyu itu, jadi apa yang dibaca oleh Beliau? Kalau sekarang perintah membaca itu, jelas, bertebaran Al-Qur’an, buku, majalah, koran, jurnal, brosur, bahkan di Internet, gudangnya perpustakaan sedunia, apa saja bisa dibaca!
Jadi apa yang dibaca oleh Beliau? Yang jelas bukan lembaran Al-Qur’an, karena Qur’an pun baru hanya lima ayat itu dan itupun turunya Qur’an tidak sekaligus, berangsur-angsur selama 23 tahun, tepatnya 22 tahun 2 bulan 22 hari, begitu yang ditulis dalam buku-buku sejarah nabi Muhammad SAW. Jadi Muhammad SAW yang belum menjadi nabi saat itu “bertanya-tanya” apa yang dibaca?
Kalau dilihat konteks tersebut, sekali lagi jelas bukan lembaran Qur’an yang dibaca, karena Qur'an memang belum dibukukan, jadi kenapa diperintah Iqro, bacalah? Kata Iqro mempunya pengertian yang sangat luas, bisa memmbaca, menganalisa, memperhatikan, meneliti, mengamati dan lain sebagainya, itupun bukan dalam lembaran kertas! Tapi alam ini, hidup ini atau segala sesuatu yang menyangkut hidup dan kehidupan, baik tentang dunia maupun akherat, artinya yang dibaca, dianalisa, diamati bukan hanya hidup saat ini, tapi juga masa lalu dan masa depan.
Begitulah tentang membaca, begitu juga tentang menulis. Ketika anda disuruh menulis atau tepatnya mengarang, waktu sekolah dulu, mungkin bertanya-tanya sambil kebingungan, apa yang harus saya tulis? Apa yang mau saya tulis? Benar-benar bingung, iyakan? Padahal bahan tulisan itu luas sekali, seluas alam semesta ini.
Jadi bahan tulisan itu terbentang dari seluruh jagat kehidupan, dalam alam yang paling kecil, mikrokosmos, sampai alam yang tak terhingga luasnya, makrokosmos, tapi herannya banyak yang tak bisa menulis atau tak tahu apa yang mau ditulis, bahkan benar-benar bingung, apa yang mau ditulis, bahkan bisa buntu ketika akan menulis.
Sekali lagi, bahan tulisan itu begitu banyak, bahkan sangat tak terhingga banyaknya, apapun bisa ditulis.
Anda bisa mulai dari diri sendiri, dari setiap anggota tubuh anda bisa ditulis. Anda bisa mulai dari keluarga di sekitar anda, itu bisa anda tulis. Lebih luas lagi ke lingkungan sekitar tempat anda bekerja, kuliah, sekolah, bermaian dan sebagainya. Mau maju atau mundur tentang waktu, terserah anda, bebas. Penulis adalah manusia yang sangat merdeka, apapun bisa ditulisnya tanpa perlu takut-takut, dan tak perlu malu-malu.
Takut salah, takut tak ada yang membaca, takut tak diterima orang lain, takut salah ketik, takut salah ide, takut salah menempatkan kata atau kalimat dan lain sebagainya adalah “hantu” yang tak perlu ada! Itu semuanya adalah bayangan akan ketakutan, yang mestinya tak ada. Jadi mengapa takut, mengapa ragu? Ayo tulislah idemu, ide anda, ide apa saja yang terdapat dalam pikiranmu dan tentunya yang bermanfaat. Karena tulisan yang bermanfaat akan dibaca orang lain, akan memberikan inspirasi kepada orang lain, akan menggugah orang lain, akan memberikan motivasi kepada orang lain.
Jangan lupa pesan Nabi SAW,“Sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling berguna bagi sesamanya.” Nah melalui tulisan anda bisa berbuat baik bagi sesama manusia. Nah di jagat dunai maya sekarang ini, anda bisa menulis apa saja dan di media apa saja, terserah anda, anda bebas menuangkan ide-ide anda, dari ide yang sangat sederhana sampai ide yang mungkin tak terpikir manusia lainnya. Nah jadi mengapa masih ragu buat menulis?
Jangan biarkan ide-idemu hilang begitu saja, tanpa catatan. Catatlah ... tulislah walaupun hanya satu ayat, satu kalimat! Idemu adalah hasil dari pemikiranmu yang datangnya bisa dengan tiba-tiba, bila tak dicatat, maka ide itu akan hilang dan tak dapat kembali lagi. Jangan biarkan hasil pemikiranmu berlalu tanpa catatan, tinggalkan untuk generasi mendatang.
Jasadmu boleh turkubur tanah, tapi idemu harus tetap hidup sepanjang jaman. Para tokoh masa lalu yang hidup berabad-abad yang lalu ... tapi namanya masih tetap disebut orang, pemikiranya masih dikaji dan dipelajari orang. Padahal jasadnya entah sudah jadi apa, tapi hasil pemikiranya yang ditulis, sampai sekian abad tetap ada dan mengabadi!
Tulislah, walaupun hanya satu ayat. “Sampaikan dariku walau hanya satu ayat,” sabda Nabi SAW. Satu ayat, satu kalimat yang punya makna... akan terus diingat manusia. Jangan ragu untuk memulai menulis, mulai dari satu kata: Bismillah! ... teruslah menulis, anda harus meninggalkan sesuatu untuk generasi di masa kini dan generasi di masa depan. Jangan ragu ... tulislah, walapun hanya satu kalimat.
Tulislah walaupun hanya satu ayat! Harta bisa hilang lenyap tanpa bekas, tapi ilmu yang ditinggalkan dan diwariskan, tak akan hilang. Itulah uniknya ilmu, semakin dibagikan pada orang lain, semakin bertambah. Lain dengan harta, semakin dibagikan, semakin habis , kecuali harta yang di keluarkan di jalan Allah, seperti infak, sedekah, zakat dan lain-lain, itupun jika memberikannya dengan ikhlas, bila tidak ikhlas ... yang tidak dapat apa-apa dari Allah!
Wahai ... sahabat, usiamu semakin mendekati kematian ... umurmu semakin mendekati ajal, jangan biarkan berlalu tanpa ada ilmu yang kau wariskan bagi generasi yang akan datang. Tulislah wahai sahabat, walaupun hanya satu ayat, walaupun hanya satu kalimat ...., sekarang ! jangan ditunda-tunda, siapa tahu besok hari anda sudah tiada.
Tulislah ... tinggalkanlah ilmu yang bermanfaat. Selagi umur masih ada, selagi napas masih bisa berhembus, selagi tangan masih bisa digerakkan, selagi pikiran masih bisa bekerja, selagi mata masih bisa melihat, selagi telinga masih mendengar, selagi hayat masih di kandung badang, selagi jari jemari masih bisa mentut kyboar komputer, selagi bonus umur masih tetap diberikan Allah SWT.
Selagi keinginan dan kemauan ada, selagi minat masih menyala, selagi darah masih mengalir, selagi jantung masih berdetak, selagi mulut masih berkata, selagi kaki masih bisa berjalan, selagi karunia Allah masih kau terima, selagi air masih bisa kau minum, maka Tulislah, jangan biarkan ide-idemu hilang begitu saja.
“Iya ... saya tahu banyak sekali waktu yang tersedia, dengan kata selagi, tapi dari mana mulainya?”
“Iya benar, dari mana dimulainya?”
“Saya paham, tapi mulainya kok susah sekali.”
“Sudah saya coba, tapi susah sekali menuangkannya.”
“Benar, sayapun begitu, mulai satu katapun susahnya minta ampun!”
“Memang kelihatannya gampang, tapi ketika menyusun kalimatnya, kok susah. Gimana dong?”
Dan banyak lagi yang senada dengan kalimat-kalimat keluhan di atas, jadi bagaimana solusinya? Ya tulis saja, tak akan pernah bisa menulis, kalau tak pernah dimulai. Ingat, jutaan kalimat yang berada di perpustakaan atau yang terdapat di buku-buku, majalah, jurnal dan lain sebagainya dari satu kata. Maka mulai dengan satu kata, kata apa saja. Coba lihat atau baca Al-Qur’an yang jumlah ayatnya tak kurang dari enam ribuan ayat, awalnya hanya dimulai dengan satu kata, Iqro, bacalah!
Nah begitu juga dengan penulis dan siapapun penulisnya, mereka akan mulai dengan satu kata! Bahkan kalau belajar dari cara Al-Qur’an menulis, terkadang bukan satu kata saja, bahkan satu dua hurup yang dirangkai, yang artinya sampai saat ini hanya Allah SWT yang tahu. Para ahli tafsir tak mempu menterjemahkan rangkai huruf terkadang hanya terdiri dua atau tiga huruf, seperti: “alif lam ro”, “alif lam mim”, “ya syin” dan lain sebagainya.
Jadi mengapa masih ragu untuk berbuat, menulis atau membaca? Ini dua rangkaian yang sejalan dan seiring. Anda akan lancar menulis kalau banyak membaca dan ketika anda membaca, anda sudah punya bahan untuk menulis. Jadi membaca dan menulis sudah dicontoh oleh generasi terdahulu, bacalah dan kemudian tulislah! Karena dengan menulis apa yang sudah andabaca, berarti anda telah mentranformasikan ke orang lain ilmu yang sudah anda dapat, kalau hanya mengandalkan ingatan akan cepat lupa, tapi ketika anda menulis akan mengabadi, karena ilmu itu sudah anda “ikat” berupa tulisan tadi.
Masih ragu? Kalau begitu, segera bangun, ambil computer atau laptop anda, ambil buku catatan anda atau ambil apa saja yang ada di sekitar anda yang bisa anda jadikan sarana untuk menulis, dan tulislah sekarang juga, saat ini juga, jangan ditunda-tunda! Katakan pada diri anda,“Saat ini saya menulis, karena saya tak tahu besok saya masih bisa menulis atau tidak?”

Cobalah Tengok, Ada Apa Di Bawah Sana?

Oleh Rifki
Bagi saya, apa yang saya lihat sungguh menakjubkan. Saya belum pernah menyaksikan secara langsung bagaimana proses pembangunan jalan layang yang meliuk-liuk dan tumpang tindih satu sama lain yang ada di tanah kelahiran saya ini, Jakarta. Subhanallah! Maha Suci Allah yang telah mengaruniakan akal dan ilmu pengetahuan kepada manusia sehingga bisa membangun jalan-jalan tersebut.
Dari atas jalan layang tersebut, saya bisa melihat berbagai macam kendaraan melintas, mulai dari motor, mobil pribadi dengan berbagai tipe, bis angkutan umum, sampai truk-truk pengangkut peti kemas. Dari atas jalan layang tersebut juga saya dapat melihat aneka bangunan mewah, mulai dari mal-mal atau pusat perbelanjaan, hotel-hotel berbintang, hingga apartemen yang berdiri megah.
Tapi, apa yang terlihat dari atas jembatan layang akan sangat berbeda dengan apa yang terlihat dengan kehidupan yang berada di bawahnya. Jika dari atas kita bisa melihat aneka bangunan tinggi bertembok kekar atau pun berlapis kaca, tidak demikian dengan rumah-rumah yang sebenarnya juga tidak layak disebut rumah yang ada di bawah jembatan layang. Atapnya adalah jembatan layang itu sendiri. Dindingnya adalah kain atau terpal bekas. Lantainya adalah tanah. Penghuninya adalah golongan masyarakat yang sering disebut "orang pinggiran" yang profesinya tak jauh dari pemulung atau pengamen. Bahkan ada juga yang tak memiliki mata pencarian tetap.
Sebut saja salah seorang di antara mereka adalah Bu Eny. Seorang nenek yang tinggal hanya bersama seorang cucunya, Aris, yang berusia sekitar enam atau tujuh bulanan. Sumber kehidupan Bu Eny dan Aris adalah uang yang diberikan oleh ibu dan ayah Aris yang bekerja secara serabutan dan tidak bisa tinggal menentap bersama keduanya. Jika masih mencukupi, Bu Eny bisa memasak nasi dan Aris masih bisa menikmati bubur bayi dan susu. Namun, jika persediaan uang tersebut menipis, apalagi habis, maka nasi aking menjadi menu utama keduanya.
Tubuh yang sudah renta dan mulai diserang berbagai penyakit, menjadikan Bu Eny tidak dapat bekerja. Setiap harinya, ia berkeliling kampung. Berkunjung dari satu rumah ke rumah lain untuk mengumpulkan sebungkus nasi yang sengaja digantung oleh warga yang sudah mengetahui kebiasaan Bu Eny. Nasi-nasi sisa tersebut dikumpulkan oleh Bu Eny yang kemudian diolahnya menjadi nasi aking.
Begitulah keseharian hidup Bu Eny dan Aris. Kehidupan yang tersembunyi di bawah jembatan layang yang jauh berbeda dengan kehidupan yang terlihat di sekelilingnya yang sepertinya tak pernah tersentuh dengan yang namanya penderitaan dan kesusahan hidup.
Dari apa yang terlihat dan dari apa yang dipertontonkan layar kaca di sore itu sepertinya akan menghapus rasa egois dalam diri kita. Jika mungkin selama ini kita beranggapan bahwa diri kita sangat menderita dengan apa yang kita alami, ternyata, di bagian bumi yang lain masih banyak orang-orang yang kehidupannya tidak lebih baik dari kita. Sudah saatnya kita menghapus rasa egois tersebut.
Jika kita merasa diri ini berada dalam kesusahan, yakinlah bahwa manusia yang susah bukan hanya diri ini seorang. masih banyak orang yang mungkin kondisinya tidak sebaik diri ini. Waktunya untuk belajar dari semangat "orang-orang pinggiran" dalam menjalani hidup. Kehidupan ini ada untuk dihadapi. Tak ada waktu untuk menyerah dan berputus asa. Jika mereka yang kita anggap berada dalam kondisi kekurangan saja mampu menjalani kehidupan ini, mengapa kita tidak? Bukankah Rasulullah pernah menyatakan bahwa "Sungguh menakjubkan urusan orang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik. Apabila mendapat kelapangan, maka dia bersyukur dan itu kebaikan baginya. Dan, bila ditimpa kesempitan, maka dia bersabar, dan itu kebaikan baginya". (HR. Muslim).

Popular Posts

Anker's Members :

In Memoriam :